Ketika Negeri Membisu Mahasiswa Berteriak

Ketika Negeri Membisu Mahasiswa Berteriak

Sumber gambar: Angiola Harry di Unplash (https://unsplash.com/photos/a-group-of-people-standing-on-the-side-of-a-road-fm_BkqJtmg0)

Aksi “Indonesia Gelap” yang dilaksanakan oleh mahasiswa dan aktivis muncul sebagai reaksi terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak mendukung masyarakat kecil. Istilah “Indonesia Gelap” telah menjadi lambang dari kekecewaan, karena banyak kebijakan pemerintah yang justru menyulitkan daripada memberikan bantuan. Salah satu isu yang paling banyak mendapat perhatian adalah pemangkasan anggaran pendidikan, yang menimbulkan kekhawatiran terkait masa depan akses ke sekolah dan perguruan tinggi yang semakin sulit.

Melalui demonstrasi ini, mahasiswa menunjukkan bahwa mereka tetap menjadi bagian penting dari suara masyarakat. Mereka berunjuk rasa bukan hanya untuk menyampaikan ketidakpuasan, tetapi juga untuk mengingatkan semua pihak bahwa ada aspek yang perlu diperbaiki. Aksi ini bukan hanya tentang kemarahan, melainkan juga tentang kepedulian, berharap agar negara ini bisa menuju ke arah yang lebih adil dan tidak semakin kelam.

Salah satu faktor utama yang mendorong mahasiswa untuk berdemonstrasi dengan aksi “Indonesia Gelap” adalah masalah pendanaan pendidikan. Terungkap bahwa pemerintah telah mengalihkan sekitar Rp71 triliun dari keseluruhan anggaran pendidikan untuk mendukung program makanan gratis, yang jika dihitung setara dengan kira-kira $28 miliar per tahun. Meskipun program ini memiliki niat yang baik untuk meningkatkan nutrisi anak-anak, banyak pihak merasa khawatir bahwa jumlah dana yang besar tersebut dapat mengancam sektor pendidikan yang sangat penting. Terlebih lagi, masih banyak isu mendasar yang mengganggu dunia pendidikan kita dari infrastruktur yang kurang memadai, mutu pengajaran yang tidak optimal, hingga distribusi akses yang belum merata.

Selain masalah pendanaan, mahasiswa juga mempertanyakan kebijakan yang dinilai menghambat kebebasan berekspresi. Peraturan seperti UU ITE dan KUHP baru sering kali digunakan untuk meredam suara-suara kritis. Kenyataan menunjukkan bahwa antara 2019 hingga 2023, lebih dari 500 individu telah dijerat dengan pasal-pasal yang dipandang problematik dalam UU ITE. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang besar karena ruang untuk berpendapat dalam demokrasi tampak semakin menyusut. Di sisi lain, menariknya, survei dari lembaga independen menunjukkan bahwa tingkat dukungan terhadap Presiden Prabowo masih sangat tinggi mencapai sekitar 80 persen. Ini menggambarkan ada kesenjangan antara pandangan umum masyarakat dan suara-suara kritis yang berupaya disampaikan mahasiswa.

Melalui aksi ini, mahasiswa tidak hanya melakukan protes semata. Mereka beraspirasi agar negara ini tetap memiliki arah yang adil, terbuka, dan mendukung kepentingan rakyat banyak. Demonstrasi ini berfungsi sebagai pengingat bahwa keputusan besar seharusnya diambil dengan hati-hati, transparan, dan tidak mengabaikan kepentingan publik.

Mahasiswa bergerak ke jalan sebenarnya karena kepedulian mereka. Mereka tidak hanya melakukan protes karena merasa marah, tetapi juga karena cinta terhadap bangsa ini. Bagi mereka, ini berkaitan dengan masa depan demokrasi di Indonesia, sebuah masa depan di mana masyarakat bisa berbicara dengan bebas, kebijakan dibuat secara adil, dan pemerintah tidak mengambil keputusan tanpa mendengarkan suara rakyat. Ketika peraturan mulai membungkam kritik dan kebijakan terasa semakin jauh dari kebutuhan masyarakat, mahasiswa merasa perlu untuk bertindak. Diam bukanlah pilihan ketika yang dipertaruhkan adalah masa depan negara.

Tanggapan pemerintah pun beragam. Ada yang memilih untuk membuka dialog, sementara yang lain memilih untuk bertindak represif, mulai dari pengamanan yang berlebihan, pembubaran demonstrasi, hingga intimidasi terhadap para peserta aksi. Di sinilah terletak tantangan terbesar bagi gerakan mahasiswa bagaimana menjaga kekompakan, konsistensi, dan saling melindungi di tengah tekanan. Perjuangan ini tentu tidak mudah. Namun, di sinilah letak nilai dari perjuangan tersebut bukan hanya sekedar berani bersuara di jalan, tetapi juga tentang ketahanan, kesabaran, dan tetap tegak meskipun tertekan dari berbagai sisi.

Gerakan Indonesia Gelap bukan hanya sekadar simbol perlawanan, melainkan juga sebuah seruan bagi seluruh elemen bangsa untuk kembali menghidupkan demokrasi yang sehat dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Agar gerakan ini tidak berhenti pada euforia semu, mahasiswa perlu memperkuat aliansi dengan akademisi, buruh, jurnalis, dan aktivis lainnya, guna membangun kekuatan sipil yang tangguh. Media sosial harus dimanfaatkan sebagai alat perjuangan untuk menyebarkan informasi dan membentuk opini publik yang kritis. Selain itu, aksi turun ke jalan perlu diimbangi dengan keberanian untuk membuka ruang dialog dengan pemerintah, sehingga suara-suara perubahan dapat terwujud dalam kebijakan yang nyata. Mahasiswa hari ini bukan hanya penerus bangsa, tetapi juga penjaga nurani demokrasi yang tidak boleh padam.

Oleh : Annisa Khusnul Khotimah

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!