Kurikulum Cinta, Semangat Baru Muharram dalam Sains

Alwin Feraro
Kurikulum Cinta, Semangat Baru Muharram dalam Sains

Kurikulum Cinta”—sebuah paradigma baru dalam pendidikan yang bertumpu pada nilai kasih sayang. Foto, ilustrasi

Tahun Baru Hijriah tidak hanya menandai perpindahan waktu, tetapi lebih jauh merupakan panggilan untuk berhijrah secara nilai. Dalam konteks ini, hijrah bukanlah sekadar perpindahan geografis, melainkan transformasi peradaban, dari belenggu ketidakadilan menuju masyarakat beradab yang dibangun atas dasar kasih sayang, ilmu, dan kemanusiaan. Inilah semangat yang diusung Kementerian Agama melalui visi “Kurikulum Cinta”—sebuah paradigma baru dalam pendidikan yang bertumpu pada nilai kasih sayang (rahmah), toleransi, dan penghormatan terhadap keberagaman. Sebagai akademisi di bidang pendidikan sains, saya melihat bahwa Kurikulum Cinta dapat menjadi jembatan penting dalam membumikan sains yang tidak hanya cerdas, tetapi juga welas asih.

Ilmu pengetahuan modern sering kali terjebak pada netralitas dingin—berfokus pada data, angka, dan eksperimen, namun kehilangan sisi kemanusiaan. Padahal, sejarah membuktikan bahwa ilmuwan besar seperti Ibn Sina, Al-Biruni, dan Al-Kindi tidak pernah memisahkan ilmu dari nilai spiritual dan moral. Dalam semangat Muharram, kita diajak untuk hijrah dari pendidikan sains yang sekadar mentransfer pengetahuan menjadi pendidikan sains yang transformatif—yang mengajarkan empati, tanggung jawab ekologis, dan rasa hormat terhadap kehidupan.

Inilah esensi Kurikulum Cinta dalam pendidikan sains: mengintegrasikan kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Sains tidak cukup hanya diajarkan dengan laboratorium dan rumus, tetapi juga dengan hati nurani.

Tahun Baru Islam sejatinya merupakan undangan reflektif bagi kita semua—terutama pendidik. Apakah sistem pendidikan yang kita jalankan telah cukup menumbuhkan cinta pada sesama, pada alam, dan pada Sang Pencipta? Apakah kurikulum kita sudah mencerminkan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin?

Ketika kita melihat masih tingginya angka intoleransi, perundungan digital, dan krisis lingkungan, maka jelas bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya menyentuh ranah afektif. Kurikulum Cinta hadir sebagai koreksi dan arah baru: membangun generasi yang tidak hanya literate, tetapi juga compassionate.

Baca Juga : Refleksi Terhadap Bedah Buku Animal Farm Dalam Rangka Merawat Nalar

Dalam semangat hijrah, mari kita ubah pendekatan kognitif yang kering menjadi pendekatan humanistik yang membebaskan. Pendidikan sains harus menjadi ruang dialog antara akal dan hati, antara laboratorium dan kehidupan sosial, antara teori dan empati. Di sinilah peran guru sains sebagai agen transformasi sangat vital. Guru bukan hanya pengajar konsep, tetapi penumbuh nilai. Melalui sains, siswa dapat diajak memahami bahwa bumi adalah satu kesatuan ekosistem cinta: kita tidak bisa berbicara tentang fotosintesis tanpa membicarakan keberlanjutan, tidak bisa memahami genetika tanpa menyentuh isu etika dan keberagaman.

Tentu, mewujudkan Kurikulum Cinta dalam pendidikan sains bukan perkara instan. Dibutuhkan keberanian struktural untuk menata ulang cara kita merancang pembelajaran, mengevaluasi capaian belajar, dan bahkan memaknai keberhasilan pendidikan. Di ruang kelas, ini berarti memberi ruang lebih luas bagi pendekatan kontekstual, pembelajaran berbasis nilai, dan integrasi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Di tingkat kebijakan, ini menuntut keberpihakan pada kebijakan yang tidak hanya menilai skor, tetapi juga karakter. Semangat hijrah yang dibawa oleh Muharram harus menjadi inspirasi untuk melakukan perubahan yang menyeluruh: dari sistem yang menekan menjadi sistem yang menyemai kasih, dari kurikulum yang bersifat teknokratis menjadi kurikulum yang menciptakan manusia utuh.

Semangat Muharram dan Kurikulum Cinta bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya bertemu dalam satu panggilan agung: membangun manusia utuh yang berilmu dan berwelas asih. Di tengah arus teknologi yang kian canggih, kita membutuhkan pelajar yang tidak hanya tahu “bagaimana”, tetapi juga “untuk siapa” ilmu itu digunakan.

Mari jadikan Tahun Baru Hijriah ini sebagai momen hijrah pendidikan kita: dari kurikulum yang mengedepankan hasil menjadi kurikulum yang menumbuhkan hati. Dari sains yang eksak menjadi sains yang eksistensial. Dari pengajaran yang menghafal menjadi pembelajaran yang mencintai.

Penulis :

Dr. Ahmad Walid, M.Pd

Pengurus RMI PWNU Bengkulu

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!