Ojol dan Ironi Kelas Pekerja; Solusi Ekonomi dan Mitra yang Tidak Setara

Handi Handi
Ojol dan Ironi Kelas Pekerja; Solusi Ekonomi dan Mitra yang Tidak Setara

Unjuk rasa pengemudi online di Bengkulu, Selasa (20/5/2025).

Puluhan pengemudi ojek dan taksi online berdiri di atas aspal panas kawasan Kantor Gubernur Bengkulu, pada Selasa (20/5/2025). Tangan yang sehari-hari menggenggam kemudi itu kini mengangkat spanduk protes.

Aksi yang digalang oleh Aliansi Nasional Driver Bengkulu (Aliando) ini bukan sekadar unjuk rasa. Wajah-wajah itu menunjukkan rasa frustasi dengan kekecewaan yang menumpuk, terhadap aplikator tempat mereka bernaung.

Sederet masalah, seperti sistem slot, komisi dan kebijakan tarif hemat yang diterapkan aplikator disebut tidak lagi manusiawi. Program-program itu dianggap hanya menguntungkan aplikator tanpa mempedulikan nasib driver.

Soal komisi misalnya. Para driver menganggap komisi sebesar 15-25 persen yang ditarik aplikator di semua platform itu dianggap terlalu besar. Potongan ini juga diperparah dengan sejumlah promo yang dirasa mencekik.

Mereka menuntut potongan komisi dikenakan kembali ke awal yakni sekitar 10 persen dan menghapus skema tarif hemat. Tuntutan ini juga ditambahkan dengan pengenaan tarif khusus malam hari.

“Kita menutut hak yang sama terhadap kawan-kawan di Indonesia dalam penempatan tarif komisi maksimal di 10 persen,” ungkap Primanata.

Ledakan Jumlah Ojol: Solusi atau Ilusi?

Data dari Kementerian Perhubungan dan ADTI menunjukkan lonjakan signifikan jumlah pengemudi ojol. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, jumlah pengemudi ojol di Indonesia bertambah 900 ribu orang. Tahun 2022 jumlahnya berada di angka 3.8 juta, sedangkan 2024 meningkat menjadi 4,7 juta pengemudi online.

Ekonom Faisal Basri mengatakan, pertumbuhan ojol ini bukanlah cermin dari keberhasilan digitalisasi. Kondisi tersebut adalah bentuk dari krisis pekerjaan yang berkepanjangan.

“Kita tidak menciptakan pekerjaan berkualitas. Orang masuk ke ojek online bukan karena itu impian mereka, tapi karena tidak ada alternatif.” – Faisal Basri, Tempo, 2021

Laporan dari SMERU Research Institute (2021) juga menyebut mayoritas mitra pengemudi berasal dari, mantan buruh pabrik, sopir angkot yang kehilangan penumpang, pedagang kecil bahkan lulusan baru yang belum memiliki pekerjaan. Pekerjaan sebagai ojol dinilai menarik karena langsung menghasilkan uang, tanpa birokrasi rumit atau pendidikan tinggi.

Sayangnya di balik fleksibilitas itu, tersembunyi ketidakpastian. Para driver ini menghadapi kondisi penghasilan yang tidak menentu, apalagi saat aplikator menerapkan sejumlah program tanpa memperhatikan kebutuhan pengemudi. Mereka tidak punya kontrol apapun terhadap keinginan aplikator.

Nasib ojol ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Karl Marx dalam teori kelasnya. Dalam konteks ini aplikasi adalah alat produksi baru—dan para driver menjadi tenaga kerja yang tak memiliki kontrol atas cara kerja maupun hasil kerjanya.

Para pengemudi dibujuk dengan jargon ‘Mitra Kerja’ yang sebetulnya hanyalah alat untuk memperdaya. Faktanya, pengemudi tidak memiliki peran yang adil dalam menentukan arah kebijakan aplikator, sesuai dengan konsep tersebut. Antonio Gramsci, teoritikus Marxis Italia menyebutkan kondisi ini sebagai kesadaran palsu yang ditanamkan.

Pengemudi ojol pun berada dalam posisi yang disebut Guy Standing sebagai bagian dari “kelas prekariat” atau kelompok yang bekerja tanpa jaminan, tanpa identitas pekerjaan yang jelas, dan tanpa proteksi sosial. Mereka tidak diakui sebagai buruh, tetapi juga tidak sepenuhnya mandiri sebagai pekerja bebas.

Ketika Ojol Diakui sebagai Pekerja Formal

Sejumlah negara telah mengambil langkah untuk mengatur hubungan kerja antara platform digital dan para pengemudinya. Di Spanyol, sejak 2021 pemerintah mewajibkan perusahaan aplikator untuk mengakui pengemudi sebagai karyawan tetap.

Mereka berhak atas asuransi kesehatan, jaminan sosial, dan gaji minimum. Hal serupa juga diterapkan di Inggris, setelah Mahkamah Agung memutuskan bahwa pengemudi Uber adalah pekerja.

Negara-negara di Asean, meski belum sampai di titik itu juga telah menuju pencerahan serupa. Filipina, Singapura dan Malaysia kini telah berkutat pada upaya peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi para driver online.

Filipina kini tengah menggodok “Gig Economy Act”, sebuah rancangan undang-undang yang akan mengatur hubungan antara perusahaan aplikasi dan para pengemudi ojek maupun kurir.

Sementara Singapura menjadi salah satu pelopor di Asia Tenggara dalam memberikan pengakuan formal bagi para pekerja gig economy, termasuk pengemudi ojek dan taksi online. Sejak 2022, pengemudi platform diklasifikasikan sebagai “Platform Workers”.

Serupa, Malaysia juga telah mendorong perusahaan platform seperti Grab dan Foodpanda untuk mendaftarkan pengemudi mereka ke dalam sistem Social Security Organization yang memberikan memberikan proteksi atas kerja mereka.

Sementara di Indonesia, pengemudi ojol masih disebut sebagai “mitra”, sebuah status abu-abu yang membingungkan. Bukan sebagai karyawan yang harusnya memiliki hak, seperti jaminan ketenagakerjaan, pensiun, hingga kompensasi kecelakaan kerja.

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!