
Orwell dalam animal farm mengilustrasikan bahwa ada entitas yg bernama “manusia” yang kerjaannya setiap saat merugikan entitas lainnya. Manusia dalam animal farm digambarkan sebagai makhluk yang eksploitatif dan hanya mementingkan diri sendiri. Setiap hari ia memanen telur dari ayam, mengambil kulit dari binatang lainnya dan bahkan memaksa banyak binatang untuk bekerja keras tanpa diberikan imbalan yang setimpal. Dalam kepala manusia sepertinya tidak ada sedikitpun pikiran tentang kesejahteraan binatang- binatang tersebut. Manusia tidak pernah melayani siapapun kecuali dirinya sendiri.
Eksploitasi- ekploitasi ini tidak berhenti pada karya fiksi Orwell, tetapi ia bertransformasi dalam kehidupan nyata. Kita bisa saksikan bagaimana gunung dibelah hanya untuk mengambil emas, bumi dilubangi sedalam mungkin untuk mengambil gas dan hasil tambang lainnya, hutan ditebang, produksi industrial memeras keringat buruh tanpa ampun, tempat hiburan didominasi oleh kemolekan tubuh perempuan dan berbagai bentuk ekspolitasi lainnya. Secara spontan hati kecilku berbisik, benarkah manusia se-egois itu? Benarkah aku se-eksploitatif itu?
Pertanyaan itu tidak ku tanggapi secara cepat dan gegabah, aku tidak ingin bercengkrama dengan jawaban yang instan dan memuaskan. Kemudian aku coba untuk menguji seberapa jauh aku melakukan eksploitasi selama ini. Aku mulai bertanya kembali tentang diriku, dalam sehari adakah aku dengan serius memikir orang lain atau sesuatu yang di luar diriku? Dalam sehari adakah yang kulakukan demi entitas lain di luar diriku? Kalau pun ada berapa persentase perbandingannya dengan yang kulakukan untuk diriku ?
Aku tersontak kaget menyadari bahwa karya fiksi Orwell termanifestasikan juga dalam diriku. Ternyata hampir 24 jam penuh seluruh isi pikiran dan perbuatan ku hanya untuk diriku. Bahkan tulisan ini pun aku sajikan melalui perspektif orang pertama yaitu perspektif ku. Hmm.
Aku menduga- duga sepertinya mayoritas orang di bumi juga begini deh, agak egois. Mungkin ini yang menjelaskan adanya simbolisasi- simbolisasi identitas untuk menunjukan kedirian, keakuan. Atau bisa jadi hal ini juga yg menjelaskan kenapa banyaknya perang yang terjadi, kenapa di ruang publik banyak terjadi dominasi individual dalam berbagai bentuk. Atau jangan- jangan ini hanya cara berpikirku yang sangat ceroboh dan tidak disiplin. Tapi ahk, sudahlah aku berhenti sejenak untuk memikirkan hal- hal itu karena aku juga mau menceritakan perihal lain dari novel animal farm ini.
Bagi pembaca animal farm pasti mereka sudah sangat mengerti bahwa pesan novel ini tentang daya lezat kekuasaan. Manusia yang mengelola peternakan tadi karena sifat eksploitatifnya akhirnya digulingkan oleh salah satu jenis binatang ternaknya, yaitu babi. Ironisnya ketika babi berhasil menjadi pemimpin dipeternakan itu ia juga menjadi tirani yang lebih ganas. Sifat eksploitasinya membludak seiring berjalannya waktu. Ia menjadi penindas yang manipulatif terhadap binatang- binatang ternak lainnya. Padahal babi melakukan penggulingan karena babi merasa tertindas, tapi paradoksnya kemudian babi menjadi penindas.
Freire juga pernah bilang bahwa ada fenomena tentang “kecenderungan kaum tertindas akan menjadi penindas baru”. Ketika orang-orang yang sebelumnya tertindas berhasil membebaskan diri dari penindasan, mereka seringkali justru mengadopsi cara-cara penindasan yang sama, bahkan memperkuatnya dengan manipulasi seperti yang dilakukan babi, bukan mengubah sistem yang menindas. Ini bisa terjadi karena mereka belum sepenuhnya memahami esensi pembebasan sejati dan hanya mengganti pihak yang berkuasa, bukan mengubah struktur dan sifat kekuasaan itu sendiri. Atau yang lebih ekstrem menghilangkan kekuasaan itu sendiri.
Lord Acton mengatakan “kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut pasti korup”. Makna korup dalam kalimat ini adalah penyelewengan, penindasan dan tindakan- tindakan sewenang- wenang lainnya yang merugikan orang lain. Ironisnya kekuasaan itu adalah barang lezat, segala bentuk kemudahan dan kemewahan menyertainya. Hal ini yg menjelaskan mengapa orang kerap kali mempertahankan kekuasaan mati- matian dan merebut kekuasaan dengan totalitas.
Lalu pertanyaan berikutnya yang muncul adalah bagaimana dengan sifat manusia yang egois dan eksploitatif kemudian ia diberikan kekuasaan yang lezat?
Maka kita bisa saksikan bahwa ada orang yang diberikan kekuasaan atas otaknya, atas tubuhnya dan atas perilakunya, tapi seluruh kebutuhan atas dirinya tidak terpenuhi dan bahkan sengaja dilalaikan. Hingga akhirnya ia ditindas manusia lainnya kemudian dimasa yang akan datang ia akan menjadi penindas baru.
Penulis : Andika Apriliyanto
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!