
Kemunculan Helmi Hasan di jagat media sosial mengingatkan masyarakat tentang sosok Dedi Mulyadi. Gubernur Jawa Barat itu berhasil menggugah perhatian publik lewat konten-kontennya yang reaktif. Tak ayal media sosial milik Dedi Mulyadi tumbuh pesat, bak konten kreator konvensional.
Popularitas ini mengilhami Helmi Hasan untuk ikut serta mempopulerkan diri lewat medsos. Tak hanya cara, Helmi Hasan bahkan meniru program-program Dedi Mulyadi untuk diterapkan di Provinsi Bengkulu. Seperti pengiriman anak nakal ke barak militer, menerapkan aturan dilarang bawa sepeda motor untuk anak sekolah dan efisiensi belanja publikasi.
Namun, pepatah “Lain Padang Lain Ilalang” sepertinya berlaku. Cita-cita 100 hari kerja Helmi Hasan dan Dedi Mulyadi tidak menunjukkan wajah yang sama. Popularitas Dedi Mulyadi dengan gaya yang otentik khas sunda membuatnya terlihat dekat dengan masyarakat, berkebalikan dengan Helmi Hasan yang menjumpai banyak masalah.
Belum genap 100 hari, Helmi Hasan dihadapkan dengan persoalan pendangkalan dermaga Pulau Baai. Persoalan ini membuat warga di Pulau Enggano terisolir dan distribusi logistik maupun energi ke Bengkulu terhambat. Helmi Hasan tampil dan berjanji menuntaskan persoalan itu dalam waktu dekat.
Celakanya, angan tidak selalu membuahkan hasil. Belum selesai mejawab pendangkalan Pulau Baai, Helmi ditimpa masalah kenaikan pajak dan kelangkaan BBM yang membuat Bumi Merah Putihnya bergejolak. Alih-alih didukung netizen, Helmi Hasan justru “Dirujak”. Meme mantan Walikota Bengkulu itu berseliweran. Kritik menghujani akun media sosialnya.
Helmi tak bisa mengelak. Jawaban soal kenaikan pajak, keliru. Mengalihkan beban ke periode gubernur lama, mental. Menyudutkan Pelindo, tak terlihat. Adik Zulkifli Hasan itu tak berkutik.
Dedi Mulyadi di Jawa Barat juga bukan tanpa masalah. Di balik popularitasnya, ia juga menerima sejumlah kritik, terutama program pengiriman anak yang tidak disiplin ke barak militer dan gayanya yang dianggap usaha menyiapkan ruang untuk pilpres 2029. Ia juga pernah diprotes oleh warga Cirebon terkait kondisi jalan yang tak kunjung diperbaiki.
100 hari kerja Dedi Mulyadi tampak lebih apik dengan hasil Survei Indikator Politik Indonesia yang rilis pada Rabu 28 Mei 2025. Bapak Aing (sebutan untuk Dedi Mulyadi) menyabet tingkat kepuasan publik yang mencapai 94,7 persen, tertinggi di antara gubernur lainnya di Pulau Jawa.
Tingginya apresiasi publik terhadap Dedi Mulyadi dipengaruhi oleh visibilitas dan penggunaan media sosial. Dedi yang memiliki jutaan pengikut berhasil membuat publik merasa dekat.
“Followers Dedi Mulyadi di Facebook lebih dari 12 juta, dan dia aktif menyapa publik. Ini membuat awareness tinggi dan publik merasa dekat,” kata Pendiri sekaligus Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dikutip dari Kompas.com.
Sayangnya belum ada survei serupa tentang tingkat kepuasan publik untuk Helmi Hasan. Jadi membandingkan keduanya berdasarkan tingkat kepuasan belum bisa dilakukan.
Soal program populis, rencana Helmi mengikuti Dedi juga masih samar-samar. Sejauh ini yang terlihat baru imbauan untuk anak sekolah tidak menggunakan sepeda motor. Tapi program ini sepertinya belum dipertegas dengan regulasi khusus. Hasilnya, masih terlihat anak sekolah menggunakan sepeda motor di jalanan. Sementara barak militer, tak lagi jadi pembicaraan serius.
Berbeda jauh dengan Dedi Mulyadi dalam 100 hari kerjanya. Meski dikritik, pengiriman anak untuk dilatih disiplin militer sudah dilakukan. Pun begitu dengan larangan sepeda motornya. Lalu kepastian pemangkasan anggaran publikasi dan sejumlah program khusus lainnya, kurang lebih sama dengan Helmi Hasan.
Janji Kampanye dan Gebrakan
Soal janji dan gebrakan, baik Helmi Hasan dan Dedi Mulyadi bisa dikatakan sama. Keduanya telah merealisasikan beberapa janji kampanye dalam 100 hari kerja, diikuti dengan sejumlah gebrakan reaktif. Program lain masih menunggu tahapan untuk dimulai.
Dedi Mulyadi misalnya. Ia telah memulai penegakan disiplin pelarangan study tour dan pencopotan kepala sekolah yang melanggar aturan. Ia juga berinovasi dengan mengusulkan program wajib militer yang kini diapresiasi warga Jabar. Adapula “Operasi Jabar Manunggal” yang bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan jauh dari premanisme.
Dedi juga telah menindak bangunan ilegal dan membongkar objek yang dianggap melanggar aturan tata ruang. Meski percepatan pembangunan infrastruktur seperti perbaikan jalan dan pembangunan ruang kelas baru masih dalam tahap perencanaan, janji lain seperti penertiban dan kebijakan pemutihan pajak kendaraan sudah menunjukkan hasil positif.
Sedangkan Helmi Hasan, telah merealisasikan pengadaan ambulans gratis dengan target distribusi hingga 100 unit ambulans. Contohnya saat Helmi mengumumkan penyerahan 15 unit ambulans di HUT Kota Curup. Ia juga telah membebaskan biaya layanan ambulans dan mobil jenazah di fasilitas kesehatan milik pemerintah.
Program lain seperti pendidikan gratis hingga jenjang SMA/SMK, rencana menurunkan pajak bahan bakar minyak (BBM), perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) dan fasilitasi akses internet gratis di desa-desa masih dalam proses dan belum terealisasi penuh.
Menjawab Kritik
Helmi Hasan dan Dedi Mulyadi menunjukkan perbedaan tajam dalam merespon kritik. Di salah satu artikel, Helmi Hasan secara eksplisit melarang Aparatur Sipil Negara untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui media sosial. Ia meminta masukan dan keluhan disampaikan secara struktural melalui atasan masing-masing. Peranyataan ini mencerminkan pola komunikasi top-down, yang menekankan jalur formal, otoritas, dan pengendalian informasi dari atas ke bawah.
Respons Helmi terhadap kelangkaan BBM di Bengkulu juga memperkuat kesan tersebut. Ketika mahasiswa mengkritik lambannya penanganan distribusi BBM, Helmi hanya merespons melalui unggahan media sosial. Ketidakhadiran fisiknya saat demonstrasi besar di kantor gubernur memperparah persepsi negatif terhadap kepemimpinannya.
Alih-alih menemui mahasiswa, sikap Gubernur Bengkulu terlihat defensif dengan melawan segala tuduhan yang dilontarkan padanya. Cara ini biasanya dilakukan ketika sesorang merasa terancam, sesuai dengan Teori Komunikasi Defensif dari Jack Gibb. Benoit dalam Image Restoration Theory menggolongkan respons seperti ini sebagai upaya untuk meminimalkan persepsi kesalahan tanpa benar-benar menyelesaikan substansi persoalan.
Sebaliknya, Dedi Mulyadi mengedepankan pendekatan yang lebih partisipatif dan terbuka terhadap kritik. Dalam kasus pengiriman anak-anak berperilaku menyimpang ke barak militer, Dedi tidak menampik kritik dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ia malah mengajak KPAI untuk berkolaborasi. Respon Dedi terhadap kritik dari tokoh terkemuka seperti Rocky Gerung juga menunjukkan Two-Way Symmetrical Model atau komunikasi dua arah. Jawaban Dedi mengesankan komunikasi antara ia dan pengkritik berlangsung secara timbal balik dan terbuka.
Dedi bahkan menemui menemui siswa SMP Negeri 1 Panawangan, Ciamis, yang sebelumnya melakukan aksi protes terkait kebijakan larangan membawa motor ke sekolah. Ia juga berdebat sengit dengan Aura Cinta, siswi SMA 1 Cikarang Utara soal larangan wisuda sekolah dan menemui pendemo yang menentang penutupan tambang di Subang.
Perbandingan antara Helmi Hasan dan Dedi Mulyadi menunjukkan dua paradigma komunikasi kepemimpinan yang sangat berbeda: yang satu cenderung hierarkis dan defensif, sedangkan yang lain bersifat partisipatif.
Pendekatan komunikasi publik yang two-way dan responsif seperti yang ditunjukkan oleh Dedi Mulyadi sepertinya lebih relevan dan efektif dalam era demokrasi digital. Itu sebabnya popularitas Dedi Mulyadi tetap meroket, sementara Helmi Hasan terganjal kritik.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!