
Di setiap perubahan besar yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, ada satu aspek yang selalu menjadi kunci utama, yaitu “kesadaran kolektif”. Gerakan yang tumbuh bukan hanya dari deru amarah atau derita semata, melainkan dari pemahaman bersama bahwa sesuatu perlu diubah dan bahwa perubahan itu hanya mungkin jika dilakukan bersama. Inilah makna terdalam dari kolektifisme gerakan, sebuah kekuatan bersama yang tumbuh dari kesadaran bersama.
Kolektifisme bukanlah sekadar berkumpulnya banyak orang untuk satu tujuan. Ia lahir dari pemahaman bahwa nasib individu tak pernah benar-benar terpisah dari nasib komunitasnya. Dalam konteks ini, kesadaran menjadi fondasinya. Tanpa kesadaran, yang akan terjadi adalah seperti tidak adanya dorongan untuk bergerak. Tanpa kesadaran bahwa kita saling terkoneksi dan terikat, yang terjadi adalah pemujaan individualitas yang dekonstruktif. Maka, kolektifisme bukan semata strategi, melainkan sebuah cara hidup dan cara berpikir.
Puluhan sampai ratusan tahun kita disuguhkan oleh gerakan-gerakan yang pola-pola kerjanya bersifat struktural-hirarkis. Dan kenyataan menisbatkan bahwa pola struktural-hirarkis hanya akan menghasilkan tirani baru yang menyesuaikan zaman. Bukan tanpa sebab hal itu terjadi, melainkan dasar utama untuk bergerak yang keliru. Dalam kolektivitas, kita digiring bahwa dasar gerakan itu adalah kesadaran yang mendalam terhadap masalah. Kemudian, kesadaran itu menyebar dan merekah ke setiap individu yang terjangkau oleh nilainya, lalu ia bertransformasi menjadi kesadaran bersama. Sementara dalam struktur hirarkis, dorongan untuk bergerak datang melalui “order” (perintah). Perintah merupakan tesis lama yang di dalamnya disusupkan penundukan, pembungkaman kreativitas, dan pengkhianatan terhadap seluruh piranti kemanusiaan. Jadi, kita tidak akan terkejut bila tirani baru lahir melalui pola gerakan struktural-hirarkis.
Di Indonesia, semangat kolektif ini bukan barang baru. Jauh sebelum kata kolektifisme menjadi istilah akademik atau slogan politik, masyarakat Indonesia sudah mempraktikkannya dalam bentuk yang sangat membumi, yaitu “gotong royong”. Konsep gotong royong mencerminkan nilai-nilai kerja sama, kepedulian, dan tanggung jawab bersama. Ia adalah bentuk paling konkret dari kesadaran kolektif dalam praktik sosial sehari-hari. Saat sawah digarap bersama, rumah dibangun bersama, atau hajatan disiapkan bersama, di sanalah nilai kolektifisme hidup dan berdenyut.
Sayangnya, dalam arus modernisasi yang sarat individualisme, nilai-nilai ini perlahan terkikis. Gotong royong digantikan oleh transaksi. Gerakan bersama digantikan oleh aspirasi pribadi. Dalam situasi seperti ini, membangun kembali semangat kolektif bukan hanya penting, tapi mendesak. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk membangkitkan kesadaran kolektif adalah pemahaman bahwa perubahan sejati hanya akan lahir jika dilakukan bersama, dan dengan frekuensi kesadaran yang sama (minimal gap-nya tidak terlalu jauh). Karena ketika ada gap yang terlalu jauh, hal ini akan melahirkan martir (tentang “martir” tentu tidak akan dibahas dalam tulisan ini).
Pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana menyamakan frekuensi kesadaran? Atau yang lebih mendasar lagi: apa itu kesadaran?
Kedua pertanyaan itu tentu tidak bisa dijawab dengan simplifikasi yang punya sensasi cepat dan memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu “mungkin” bisa dijawab melalui berbagai literasi-literasi yang terkait dan kontemplasi yang jujur.
Sebagai penutup curahan hati ini, menurutku dalam dunia yang semakin terfragmentasi, esensi kolektifisme menjadi penawar. Ia menawarkan kekuatan di tengah keterbatasan, harapan di tengah ketimpangan, dan suara bersama di tengah kebisuan. Maka, tawaran untuk merawat kesadaran itu lahir dari keyakinan bahwa kita tidak pernah sendiri, dan dengan kebersamaan kita akan bergerak menuju masa depan kemanusiaan yang lebih adil dan bermartabat.
Oleh : Andika Apriliyanto
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!