
Kasus korupsi yang menjerat Rohidin Mersyah—mantan Gubernur Bengkulu—bukan sekadar persoalan individu yang tergelincir oleh kekuasaan. Ia mencerminkan wajah buram demokrasi lokal yang masih dibalut praktik transaksional, patronase birokrasi, dan lemahnya kontrol atas pembiayaan politik.
Setelah ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23 November 2024, Rohidin kini menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu. Dalam sidang perdananya, 21 April 2025, ia mengakui dakwaan tanpa keberatan. Fakta-fakta yang disampaikan di ruang sidang dan data KPK membuka tabir kelam praktik kekuasaan di daerah yang selama ini tertutup rapat.
Rohidin tidak sendiri. Sekretaris Daerah Isnan Fajri dan ajudannya, Evriansyah alias Anca, juga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga menggalang dana dari satuan kerja (satker), ASN, bahkan guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT). Kepala Dinas Pendidikan disebut menyetor Rp2,9 miliar, dan Kepala Biro Pemerintahan menyerahkan Rp1,4 miliar melalui ajudan Gubernur. Uang itu diduga digunakan untuk membiayai logistik kampanye Rohidin dalam kontestasi Pilkada 2024.
Ini adalah bentuk “pemerasan struktural” yang sangat mengkhawatirkan: ASN dipaksa menjadi sumber logistik politik petahana, dan birokrasi digunakan sebagai mesin pendanaan kampanye.
KPK telah menyita sejumlah aset yang terkait dengan perkara ini, termasuk rumah di Yogyakarta senilai Rp1,5 miliar dan beberapa bidang tanah dan bangunan lainnya di Bengkulu dengan total nilai sekitar Rp4,3 miliar. Selain itu, KPK juga terus mendalami potensi aliran dana ke pihak-pihak lain yang terlibat dalam tim pemenangan Rohidin.
Rohidin kini ditahan di Rutan Malabero, sedangkan Isnan Fajri dan Anca ditahan di Lapas Bengkulu. Dalam proses persidangan yang masih berjalan, KPK telah memanggil belasan saksi, termasuk delapan calon kepala daerah di Bengkulu yang diduga mengetahui aliran dana atau menjadi bagian dari strategi pemenangan.
Demokrasi yang Dibajak
Kasus ini memberi sinyal kuat bahwa demokrasi lokal belum sepenuhnya lepas dari jerat praktik lama: kekuasaan digunakan sebagai modal politik, bukan sebagai alat pelayanan publik. Ketika kepala daerah menggunakan anggaran dan pengaruh struktural untuk membiayai kampanye, hasilnya adalah pemerintahan yang rapuh secara etis dan legal.
Pilkada yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat berubah menjadi proses yang mahal, eksklusif, dan manipulatif. Kasus Rohidin Mersyah adalah manifestasi paling nyata dari itu semua.
KPK kini menghadapi tantangan besar untuk menuntaskan kasus ini secara menyeluruh. Banyak pihak berharap, perkara ini tak berhenti pada tiga orang tersangka. Sistem yang memungkinkan terjadinya praktik semacam ini harus diungkap dan diperbaiki.
Media dan masyarakat sipil juga berperan penting. Ketika ruang redaksi menyusut dan jurnalis kehilangan ruang independen, praktik korupsi semacam ini mudah luput dari pengawasan. Dukungan pada jurnalisme investigatif dan partisipasi aktif warga menjadi pilar penting dalam membangun demokrasi yang bersih.
Kasus Rohidin Mersyah mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilihan langsung, tetapi juga soal bagaimana kekuasaan diperoleh dan digunakan. Etika, transparansi, dan akuntabilitas adalah fondasi yang harus dijaga.
Jika praktik politik transaksional terus berlangsung, demokrasi lokal hanya akan menjadi sandiwara lima tahunan—di mana suara rakyat dibeli, dan kekuasaan dijalankan untuk kepentingan pribadi.
Pengadilan boleh memutuskan bersalah atau tidak. Tapi satu hal sudah pasti: kepercayaan publik pada pejabat publik harus dibangun kembali dari reruntuhan.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!