
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa perubahan besar dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita berinteraksi, belajar, bahkan memahami agama. Di tengah arus digitalisasi yang tak terbendung, muncul pertanyaan penting: bagaimana posisi da’i—penyampai risalah Islam—ketika berhadapan dengan algoritma, mesin, dan kecerdasan buatan? Apakah AI dapat menjadi sekutu dalam dakwah, atau justru menantang nilai-nilai yang dibawa oleh para da’i?
Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong kita untuk merenungkan lebih dalam tentang transformasi dakwah di era teknologi tinggi. Beberapa tokoh dari bidang agama, komunikasi, dan teknologi telah memberikan pandangan kritis dan reflektif yang bisa menjadi bahan pijakan dalam menyikapi fenomena ini.
Dakwah secara klasik dilakukan secara langsung—baik melalui khutbah, ceramah, atau majelis taklim. Namun, era digital membawa perubahan besar. Media sosial, YouTube, podcast, dan kini AI membuka ruang baru bagi penyampaian ajaran Islam. Para da’i dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memahami dinamika digital dan algoritma yang mengatur jangkauan pesan mereka.
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra (alm.), dakwah harus adaptif terhadap zaman, tetapi tidak boleh kehilangan esensi. Ia menekankan bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Hal yang sama ditegaskan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang menekankan pentingnya dakwah yang bijak, santun, dan penuh kasih, tak peduli medianya apa.
Algoritma adalah sistem yang bekerja di balik platform digital, mengatur konten apa yang muncul di layar pengguna. Ini berarti, jika pesan-pesan dakwah disusun dengan pemahaman algoritma yang tepat, mereka bisa menjangkau lebih banyak orang.
Namun, Dr. Zeynep Tufekci, seorang sosiolog teknologi dari University of North Carolina, memperingatkan bahwa algoritma juga bisa membentuk bias, membentuk pola pikir, dan bahkan memperkuat polarisasi. Dalam konteks dakwah, ini berarti konten-konten Islam bisa disalahpahami jika disajikan dalam bentuk yang dangkal, sensasional, atau terpotong-potong.
Oleh karena itu, da’i perlu memahami cara kerja algoritma. Seperti disampaikan oleh Ustaz Felix Siauw, “Kalau algoritma bisa membawa orang ke konten dakwah, maka kita harus pelajari bagaimana algoritma bekerja.” Dengan kata lain, da’i masa kini tidak cukup hanya dengan retorika, tetapi juga harus melek data.
Kecerdasan buatan sudah mulai digunakan dalam berbagai aspek keagamaan. Misalnya, chatbot Islam yang menjawab pertanyaan fiqih, aplikasi pengingat salat yang canggih, hingga AI yang dapat membacakan Al-Qur’an dengan tajwid yang benar. Teknologi ini membantu umat dalam mengakses informasi keagamaan dengan lebih cepat dan mudah.
Namun, menurut Dr. Iyad Rahwan, seorang peneliti AI dan etika, teknologi ini juga menimbulkan tantangan etis. AI bisa menyampaikan informasi yang salah jika tidak dikontrol oleh manusia yang berkompeten. Dalam konteks Islam, hal ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kesesatan dalam memahami agama.
Masalah lain adalah: apakah AI bisa menggantikan peran da’i? Jawabannya tentu tidak. AI tidak memiliki ruh, empati, atau pemahaman kontekstual sebagaimana manusia. Maka dari itu, AI hanya bisa menjadi alat bantu dakwah, bukan pengganti da’i.
Pemikir Muslim seperti Nasr Hamid Abu Zayd pernah menekankan perlunya pembaruan metode dalam menyampaikan ajaran Islam. Meski ia tidak hidup di era AI seperti sekarang, idenya tetap relevan: Islam harus bisa dikomunikasikan dalam bahasa zaman, dengan tetap menjaga esensinya.
Dengan demikian, pemanfaatan AI dalam dakwah bisa menjadi bentuk ijtihad kontemporer. Namun, ijtihad ini harus dilakukan oleh orang-orang yang memahami baik ilmu agama maupun teknologi, agar tidak terjadi penyimpangan dalam isi maupun metode penyampaiannya.
Transformasi dakwah di era kecerdasan buatan bukanlah ancaman, melainkan peluang—jika dijalankan dengan bijak. Da’i harus mampu berdialog dengan zaman, termasuk dengan algoritma dan AI, tanpa kehilangan jati diri. Dakwah tidak boleh menjadi dingin dan mekanis seperti mesin, tetapi harus tetap hangat dan manusiawi, sebagaimana hakikat ajaran Islam itu sendiri.
Sebagaimana pesan klasik yang tetap relevan di era modern:
“Al-Hikmah Dhalatul Mukmin. Fa’ainama Wajadaha fahuwa Ahaqqu Biha.”
(Hikmah adalah barang hilang milik orang beriman. Di mana pun dia menemukannya, maka dia lebih berhak atasnya.)
Maka, jika AI dan algoritma bisa menjadi bagian dari hikmah zaman ini, da’i harus siap untuk menemukannya, memahaminya, dan menggunakannya dalam jalan kebaikan.
Penulis : Bambang Irawan/ Mahasiswa Universitas Islam Negeri Fatmawati Soekarno Bengkulu
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!