
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (AI) Artificial Intelligence, bukan lagi sekadar istilah futuristik. AI telah hadir dan menyusup dalam banyak aspek kehidupan, mulai dari dunia bisnis, pendidikan, hingga agama. Salah satu hal yang menarik dan patut diperhatikan adalah bagaimana AI mulai terlibat dalam dunia dakwah—menyampaikan pesan keagamaan, menjawab pertanyaan umat, bahkan menjadi asisten dalam pengembangan konten dakwah digital.
Namun, apakah ini berarti kemajuan? Atau justru menjadi ancaman bagi nilai-nilai yang selama ini dijaga oleh para pendakwah dan tokoh agama?
AI dalam Dakwah: Era Baru Komunikasi Islam
Dakwah adalah kegiatan menyampaikan ajaran Islam kepada umat, baik secara lisan maupun tulisan. Di era digital, bentuk dakwah mengalami transformasi besar. Dari pengajian di masjid, kita berpindah ke YouTube, podcast, bahkan TikTok. Kini, AI mulai terlibat dalam proses ini. Ada AI yang bisa menghasilkan konten ceramah, menjawab pertanyaan agama secara otomatis, hingga membuat video berdurasi pendek dengan suara dan wajah seperti ustadz sungguhan.
Hal ini tentu memberikan kemudahan luar biasa. Banyak anak muda yang tadinya jauh dari kajian Islam kini bisa mengakses dakwah dengan cara yang lebih ringan dan menarik. AI membantu mempercepat distribusi konten, menjawab pertanyaan dengan cepat, dan bahkan membuat materi dakwah jadi lebih rapi dan menarik secara visual..
Tantangan Etika dan Keaslian Pesan
Namun, di balik semua kecanggihan itu, muncul pertanyaan besar: apakah AI mampu menjaga substansi nilai-nilai keagamaan?
AI bekerja berdasarkan data dan pola. Ia tidak punya kesadaran spiritual, pengalaman batin, atau pemahaman yang lahir dari penghayatan iman. Maka ketika AI digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama, ada risiko informasi yang disampaikan tidak akurat, tidak sesuai mazhab, atau keluar dari konteks budaya dan sosial.
Salah satu ulama terkemuka, Sheikh Dr. Yasir Qadhi, menanggapi perkembangan AI dalam konteks keagamaan dengan sangat hati-hati. Ia mengatakan:
“Artificial intelligence should be a tool to assist in knowledge dissemination, but it must not replace the wisdom and judgment that come from years of study and spiritual reflection.”
(AI seharusnya menjadi alat bantu dalam penyebaran ilmu, tetapi tidak boleh menggantikan kebijaksanaan dan penilaian yang lahir dari bertahun-tahun belajar dan refleksi spiritual.)
Pernyataan ini menegaskan bahwa kecanggihan teknologi tidak sebanding dengan kedalaman ruhani dan pengalaman seorang pendakwah. AI memang bisa memberikan jawaban instan dan merangkum isi kitab, tetapi ia tidak bisa memahami nuansa kebijaksanaan, kondisi umat, atau merespons dengan empati dalam situasi tertentu.
Opini ini sejalan dengan pandangan bahwa dakwah bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga menyentuh hati, membimbing secara batin, dan meneladani akhlak. Maka dari itu, AI sebaiknya dimanfaatkan sebagai pelengkap dan alat bantu dalam dakwah digital, namun tetap memerlukan bimbingan dan pengawasan dari manusia yang memiliki kedalaman ilmu dan spiritualitas.
Lebih dari itu, dakwah bukan hanya soal “jawaban benar”, tapi juga soal empati, hikmah, dan ketulusan. Ini sesuatu yang belum bisa ditiru oleh mesin, setidaknya untuk saat ini. Apa jadinya jika masyarakat lebih percaya pada “ustadz AI” ketimbang belajar dari guru nyata? Apakah hubungan spiritual bisa digantikan oleh interaksi digital?
Dakwah Bukan Hanya Teknologi, Tapi Hati Nurani
Dalam sejarah Islam, dakwah berkembang bukan hanya karena ilmu, tapi karena akhlak. Rasulullah SAW dikenal bukan hanya karena wahyu yang beliau sampaikan, tapi karena sifat-sifat mulia yang melekat dalam dirinya: sabar, jujur, bijak, dan kasih sayang.
Ini yang membuat dakwah beliau menyentuh hati, bukan hanya logika. AI, dengan segala kecanggihannya, belum bisa menghadirkan sisi ini.
Oleh karena itu, penggunaan AI dalam dakwah harus bijak. Ia seharusnya membantu para pendakwah manusia, bukan menggantikan mereka. AI bisa menjadi alat bantu menulis, mencari referensi, menyusun naskah ceramah, atau mempercepat distribusi konten. Tapi peran manusia tetap utama, karena hanya manusia yang bisa menyentuh hati manusia lainnya.
Menuju Sinergi, Bukan Dominasi
Alih-alih takut dengan AI, para dai dan tokoh agama harus mulai melek teknologi. Jika tidak, ruang dakwah akan diisi oleh pihak-pihak yang mungkin tidak memahami nilai-nilai agama, dan hanya mengandalkan AI tanpa pengawasan etika.
Yang dibutuhkan sekarang bukan penolakan, tapi pendampingan. Para pendakwah bisa bekerja sama dengan teknolog, konten kreator, dan komunitas digital untuk memastikan bahwa dakwah tetap berkualitas, walaupun medianya berubah. AI harus diprogram dan diawasi oleh mereka yang paham agama, bukan dilepas begitu saja.
AI sebagai Tantangan dan Kesempatan
AI adalah teknologi, dan seperti semua teknologi, ia netral. Yang menentukan manfaat atau mudaratnya adalah manusia yang menggunakannya. Jika digunakan dengan bijak, AI bisa menjadi mitra dalam menyebarkan kebaikan. Tapi jika dibiarkan tanpa kontrol, bisa jadi malah menyesatkan.
Karena itu, kita perlu menyambut AI dengan akal dan hati, agar teknologi ini benar-benar menjadi jalan untuk mendekatkan manusia kepada nilai-nilai ilahi, bukan sebaliknya.
Penulis : Muhammad Sa’id/Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!