Dakwah Digital dan AI: Menyapa Umat Lewat Teknologi

Dakwah Digital dan AI: Menyapa Umat Lewat Teknologi

Perkembangan zaman adalah keniscayaan, dan setiap generasi memiliki tantangannya sendiri dalam menyampaikan kebaikan. Jika dahulu para ulama menempuh perjalanan jauh untuk menyampaikan ilmu dari mimbar ke mimbar, kini kita dihadapkan pada realitas digital yang serba cepat dan serba instan. Dunia telah berubah. Dan begitu pula cara dakwah seharusnya bertransformasi.

Salah satu teknologi yang kini menjadi sorotan global adalah kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Teknologi ini memungkinkan sistem komputer untuk belajar, memahami pola, dan bahkan membuat keputusan secara otomatis berdasarkan data yang dianalisis. Awalnya dikembangkan untuk mendukung industri dan bisnis, kini AI merambah banyak bidang: pendidikan, kesehatan, pertanian, militer, hingga… dakwah.

Pertanyaannya kemudian, apakah AI bisa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang luhur dan penuh hikmah? Jawabannya: bukan hanya bisa, tapi justru berpotensi besar. Dakwah berbasis teknologi bukan berarti kehilangan ruh spiritualitas, justru ia bisa menjadi jembatan agar ajaran Islam lebih mudah dipahami oleh generasi digital yang lahir dan tumbuh bersama gawai, media sosial, dan mesin pencari.

Contoh nyata pemanfaatan AI dalam dakwah adalah munculnya aplikasi chatbot Islami. Aplikasi ini memungkinkan pengguna bertanya seputar fiqih, akidah, adab, bahkan ayat Al-Qur’an secara langsung dan mendapatkan jawaban dalam hitungan detik. Ini tentu sangat membantu, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil atau enggan bertanya secara langsung karena malu.

Selain itu, teknologi text-to-speech dan video AI memungkinkan para dai membuat konten dakwah dengan visual menarik dan suara narasi profesional tanpa harus memiliki studio rekaman. Seorang ustadz muda kini bisa menyampaikan tausiyah dengan bantuan AI visual dan audio, lalu membagikannya di berbagai platform sosial media dalam hitungan menit. Ini memperluas jangkauan dakwah secara signifikan.

AI juga mampu menganalisis data tren sosial—apa yang sedang menjadi perbincangan umat, persoalan apa yang paling banyak dicari. Berdasarkan itu, materi dakwah bisa disusun lebih relevan, tepat sasaran, dan kontekstual. Pendakwah yang sadar data akan lebih mudah menyentuh kebutuhan psikologis maupun intelektual jamaahnya.

Namun, teknologi tidak pernah netral. AI hanyalah alat. Ia akan bermanfaat tergantung siapa yang mengendalikannya. Di sinilah pentingnya literasi digital bagi para dai, ulama, dan aktivis dakwah. Kita tidak cukup hanya paham kitab dan dalil, tapi juga perlu memahami bagaimana teknologi bekerja, agar dakwah kita tidak tertinggal dan tetap mampu bersaing dalam medan digital yang padat informasi.

Risiko tetap ada. Misalnya, munculnya konten keislaman otomatis yang tidak dikurasi, atau penyebaran fatwa dan informasi agama yang tidak diverifikasi oleh ahli. AI bisa menjawab, tapi ia tidak bisa bertanggung jawab. AI bisa meniru ucapan ustadz, tapi ia tidak memiliki nurani, hikmah, atau adab. Maka, kontrol dan validasi dari manusia tetap menjadi keharusan.

Lebih jauh, umat Islam harus menyadari bahwa penguasaan teknologi bukan sekadar pilihan, tetapi bagian dari fardu kifayah. Ulama besar seperti Ibnu Sina, Al-Khwarizmi, dan Al-Farabi pada zamannya adalah pelopor teknologi dan sains. Kita sebagai generasi penerus tidak boleh sekadar menjadi pengguna, tapi juga pencipta dan pengarah teknologi agar ia bermanfaat untuk ummat.

Dalam konteks ini, sinergi antara ulama, akademisi, programmer, dan content creator muslim sangat penting. AI bisa menjadi alat dakwah yang luar biasa jika dirancang dengan nilai-nilai Islam, dilengkapi kurikulum keislaman yang valid, serta dikembangkan oleh mereka yang mengutamakan adab di atas algoritma. Di sinilah peran institusi pendidikan Islam menjadi krusial: mendidik generasi yang paham agama dan teknologi sekaligus.

Dakwah digital berbasis AI adalah bentuk ijtihad baru di era disrupsi. Dakwah tidak boleh stagnan. Justru ia harus hadir di mana manusia berada—dan hari ini, manusia hidup dalam jaringan digital yang luas. Kita harus hadir di sana, bukan sekadar ikut-ikutan, tapi memberi warna dan arah.

Maka, daripada curiga pada AI, lebih baik kita merangkulnya dengan iman dan ilmu. Jadikan AI sebagai pelayan dakwah, bukan pengganti dai. Jadikan AI sebagai alat untuk menyampaikan kebenaran, bukan menyebar kesesatan. Dengan cara ini, teknologi tidak akan mengikis nilai-nilai Islam, justru akan memperkuatnya.

Dengan iman sebagai kompas, ilmu sebagai fondasi, dan teknologi sebagai sarana, dakwah Islam dapat hadir dalam bentuk yang lebih efektif, relevan, dan menyentuh hati. AI adalah peluang, bukan ancaman—asal digunakan dengan niat yang benar dan bimbingan dari mereka yang terpercaya.

Oleh: Dina/Mahasiswa UIN FATMAWATI SUKARNO BENGKULU

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!