Logo

Pakar Politik Bicara Pemilih Milenial, Ini Katanya

Pakar Politik Bicara Pemilih Milenial, Ini Katanya

KOTA BENGKULU – Pakar Komunikasi Politik Nasional, Lely Arianie angkat bicara mengenai pemilih milenial atau pemilih muda yang ada di Bengkulu.

Menurut Lely, pemilih milenial sangat berpengaruh terhadap kemenangan seseorang pada pilkada mendatang, hanya saja pemilih milenial masih kurang binaan dan sosialisasi dari partai politik, sehingga mereka cenderung meraba untuk memutuskan pilihannya saat pemilu.

“Siapapun dia, jika memang sudah memiliki hak pilih, gunakanlah hak pilihnya dengan baik, pelajari track record kandidat bukan hanya dari media sosial tapi juga dari kesehariannya,” ujar Lely Arianie, Sabtu (24/3/2018).

Dilanjutkan Lely, untuk Bengkulu bukan perkara sulit mengamati keseharian para kandidat, karena daerahnya yang tidak terlalu luas dan secara geografis mudah dijangkau.

“Untuk Bengkulu sangat gampang untuk mengamati para kandidat, karena daerahnya yang tidak terlalu luas dan siapapun bisa hadir di tempat-tempat pembelajaran mereka,” jelasnya.

Kemudian kata Lely, partai politik memiliki fungsi sosialisasi, namun banyak partai politik yang lalai akan hal itu, sehingga pemilih milenial kekurangan referensi menghadapai tahun politik.

“Sejatinya, itu memang tugas partai politik, untuk melakukan sosialisasi politik, tapi banyak partai politik yang lalai melakukan peran itu, sehingga anak muda yang disebut pemilih milenial ini, kekurangan referensi dan kebanyakan mempelajari politik dan kepemimpinan hanya dari media sosial,” jelas Lely.

Referensi yang kurang tersebut membuat mereka kurang memahami apa itu kampanye, kepemimpinan, black campaign, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek-aspek kepemilihan.

Lely menghimbau, agar pemilih milenial jangan hanya belajar dari media sosial, tetapi bertanya dan mengikuti kegiatan bersama para penyelenggara pemilu sehingga itu menjadi bagian dan integral dari proses pembelajaran politik.

Untuk diketahui, pemilih milenial ialah pemilih yang lahir ditahun 1980-2000an, yang saat ini usianya berkisar 17-37 tahun. Mereka dianggap penentu dalam pilkada karena mereka adalah generasi teknologi yang dituntut berfikir kritis dalam menentukan pemimpin di daerahnya.