Oversharing di Media Sosial: Ketika Privasi Jadi Konsumsi Publik

Alwin Feraro
Oversharing di Media Sosial: Ketika Privasi Jadi Konsumsi Publik

Media sosial kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, bersamaan dengan kehadiran fitur-fitur yang memudahkan kita untuk berbagi, muncul pula fenomena yang disebut oversharing, atau membagikan terlalu banyak hal pribadi di ruang publik digital. Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi gejala yang mengungkap banyak hal soal cara kita melihat diri sendiri, privasi, dan kebutuhan akan validasi sosial.

Setiap hari, linimasa media sosial kita dipenuhi berbagai drama. Dari skandal hingga momen-momen pribadi yang semestinya bersifat intim, semua bisa jadi konten. Bahkan, aktivitas seksual pun tak luput dibagikan, difoto, bahkan dijadikan ‘event’ seperti kasus yang pernah viral hingga membuat penyelenggaranya ditangkap polisi. Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana seseorang bisa viral hanya karena penampilan fisik atau momen tak biasa. Ada pula contoh kontroversial seperti unggahan selebgram yang berfoto dengan pejabat publik saat suasana duka. Semua ini memicu perdebatan soal batas etika dan privasi. Tapi apakah semua ini wajar?

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana batas antara kehidupan pribadi dan publik semakin kabur. Banyak orang menjadikan media sosial sebagai diary digital, habis jadian, nge-post, habis liburan, nge-post dapat anak, nge-post, sampai curhatan tentang masalah kantor pun dibagikan di akun sosial media pribadi. Ini bukan hanya soal berbagi cerita, tapi juga soal bagaimana privasi dikonstruksi ulang di era digital.

Dalam psikologi, ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang oversharing. Tapi secara umum, dua hal utama bisa menjelaskan perilaku ini, kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang yang besar, serta kurangnya edukasi tentang privasi digital. Banyak orang melakukan oversharing karena ingin merasa terhubung, dianggap ada, dan diakui. Dalam beberapa kasus, ini bisa berakar dari pengalaman masa kecil yang kurang memberikan rasa aman atau cinta. Mereka mencari validasi melalui respons orang lain di media sosial, bahkan jika itu harus mengorbankan privasi.

Di sisi lain, sebagian besar dari kita mungkin tidak pernah diajarkan bahwa membagikan alamat rumah, KTP, atau bahkan masalah keluarga ke media sosial bisa berdampak buruk. Media sosial sendiri baru benar-benar populer di Indonesia sekitar satu dekade terakhir, dan pendidikan tentang etika digital belum menyebar secara luas.

Pada dasarnya, semua orang punya hak untuk membagikan apapun di media sosial. Tapi masalah muncul ketika seseorang tidak menyadari batasan dan konsekuensinya. Hal yang awalnya terasa wajar bisa berujung pada penyesalan, cibiran, bahkan pemecatan kerja. Tak jarang pula seseorang harus membuat video permintaan maaf setelah oversharing. Lebih parah lagi, saat seseorang tak hanya membuka privasinya sendiri, tapi juga orang lain. Fenomena doxing, spilling, dan penyebaran informasi pribadi tanpa izin bisa membahayakan semua pihak yang terlibat.

Untuk menghadapi fenomena ini, kita perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga privasi diri. Setiap kali ingin mengunggah sesuatu, kita perlu bertanya, “Kenapa gue posting ini?”, “Apa tujuannya?”, “Apa dampaknya?”. Latihan untuk berpikir sebelum mengunggah adalah bentuk perlindungan diri yang sederhana tapi penting. Kita juga harus menghormati privasi orang lain dengan tidak membagikan konten yang melibatkan mereka tanpa izin. Etika bermedia sosial seperti sopan santun, empati, dan tanggung jawab harus dipahami layaknya etika di dunia nyata. Anonimitas bukan alasan untuk merendahkan, mencemooh, atau menyakiti orang lain.

Jika kamu merasa kesulitan mengendalikan kebiasaan oversharing, atau telah mengalami dampak negatif dari media sosial, tak ada salahnya untuk mencari bantuan. Konsultasi dengan mentor atau psikolog bisa membantumu memahami akar permasalahan dan menemukan jalan keluar yang sehat.

Oversharing adalah fenomena yang lahir dari kebutuhan manusia akan koneksi dan penerimaan. Namun, jika tidak dilakukan dengan bijak, itu bisa menjadi bumerang. Menjaga keseimbangan antara terbuka dan menjaga privasi bukan berarti membatasi diri, melainkan bentuk cinta dan perlindungan terhadap diri sendiri. Karena pada akhirnya, media sosial adalah alat. Bukan tempat tinggal. Maka jangan serahkan semua hal tentang hidup kita ke ruang yang tak selalu bisa kita kendalikan.

Oleh : Gustin Fitriani, Mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Bengkulu

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!