Dari Bumi Rafflesia ke Bumi Merah Putih Sebuah Kebanggaan atau Kehilangan Identitas?

Dari Bumi Rafflesia ke Bumi Merah Putih Sebuah Kebanggaan atau Kehilangan Identitas?

Bengkulu selama ini dikenal sebagai Bumi Rafflesia. Julukan ini berasal dari bunga Rafflesia arnoldii yang tumbuh di hutan Bengkulu dan dikenal sebagai bunga terbesar di dunia. Rafflesia arnoldii memiliki diameter mencapai 1 meter dan berat hingga 11 kilogram, menurut data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung. Tapi julukan ini bukan hanya soal bunga, ini juga menggambarkan kekayaan alam, sejarah, dan budaya khas Bengkulu. Sebutan Bumi Rafflesia sudah lama melekat dalam kehidupan masyarakat, digunakan dalam promosi wisata, dunia pendidikan, hingga pemerintahan. Nama ini membuat orang langsung mengenal dan mengingat keunikan Bengkulu. Bahkan, menurut Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu, destinasi wisata berbasis flora endemik seperti Taman Wisata Alam Bukit Daun dan Hutan Lindung Seblat mencatat peningkatan kunjungan hingga 20% pada periode 2018–2022.

Belakangan, muncul nama baru, Bumi Merah Putih. Nama baru ini diperkenalkan pemerintah daerah dan mulai sering muncul di spanduk, baliho, serta acara resmi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa cinta tanah air dan mengingatkan bahwa Bengkulu juga punya peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Misalnya, kita tahu bahwa Bung Karno pernah diasingkan ke Bengkulu. Bung Karno tinggal di Bengkulu pada tahun 1938–1942, dan di kota ini pula ia bertemu Fatmawati yang kelak menjadi ibu negara pertama dan penjahit bendera Merah Putih. Jadi, secara niat, panggilan ini memang ingin membangkitkan semangat nasionalisme. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan: apakah mengganti julukan ini akan menghapus identitas Bengkulu yang sudah dikenal lama?

Pergantian julukan ini bisa membuat masyarakat merasa kehilangan sesuatu yang penting. Identitas lokal yang sudah dibangun sejak lama bisa saja perlahan hilang. Banyak orang mungkin merasa bingung atau tidak setuju jika julukan yang sudah dikenal luas tiba-tiba diganti, apalagi tanpa melibatkan suara masyarakat. Dari sisi pariwisata, ini juga bisa berpengaruh. Nama Bumi Rafflesia sudah menjadi daya tarik tersendiri dan dikenal sebagai ciri khas Bengkulu. Sementara itu, menurut laporan dari Asosiasi Pelaku Pariwisata Nusantara (ASPPI), konsistensi branding daerah menjadi faktor penting dalam menarik wisatawan jangka panjang. Sedangkan nama Bumi Merah Putih terdengar lebih umum dan bisa digunakan oleh daerah mana pun. Akibatnya, Bengkulu bisa kehilangan keunikannya di mata wisatawan.

Oleh karena itu, perlu dipikirkan lagi dampak jangka panjang dari perubahan ini. Menunjukkan cinta tanah air tidak harus dengan mengganti simbol atau julukan daerah. Justru, mencintai Indonesia bisa ditunjukkan dengan menjaga dan merawat keunikan masing-masing daerah. Bengkulu seharusnya tetap bangga dengan julukannya sebagai Bumi Rafflesia, sambil tetap mengenang peran pentingnya dalam sejarah bangsa. Kedua hal ini bisa berjalan bersama. Pemerintah daerah perlu mengajak masyarakat berdiskusi agar perubahan seperti ini tidak terasa dipaksakan. Kajian dari LIPI (sekarang BRIN) tahun 2019 menyebutkan bahwa pelibatan masyarakat dalam perubahan simbol budaya dapat mencegah konflik identitas dan memperkuat kohesi sosial.

Bumi Rafflesia adalah bagian penting dari jati diri Bengkulu. Jika ingin menambahkan semangat nasionalisme lewat nama Bumi Merah Putih, itu bagus-bagus saja, asalkan tidak menghapus identitas lokal yang sudah lama dikenal. Bangga terhadap Indonesia bisa dimulai dari bangga pada daerah sendiri. Bengkulu tidak perlu memilih salah satu. Julukan Bumi Rafflesia dan Bumi Merah Putih bisa hidup berdampingan selama disampaikan dengan bijak dan tidak saling menggantikan.

Oleh : Anisa Fiteria

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!