
Di negeri yang muridnya masih bergelut dengan literasi dasar, pendidikan teknologi tinggi justru dipromosikan sebagai solusi masa depan. Di tengah derasnya arus globalisasi dan transformasi digital, sistem pendidikan Indonesia terus didorong untuk mengejar ketertinggalan melalui berbagai inovasi.
Namun, langkah-langkah pembaruan yang diambil sering kali tampak terburu-buru dan tidak sesuai pada kondisi nyata di lapangan. Salah satu wacana yang belakangan menuai sorotan adalah rencana pemerintah untuk memasukkan pembelajaran kecerdasan buatan (AI) dan coding ke dalam kurikulum nasional. Meskipun terdengar visioner, banyak pihak menilai kebijakan ini seperti membangun kemewahan di atas fondasi yang rapuh.
Menurut data Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, skor Indonesia berada di posisi bawah dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains dibandingkan dengan negara-negara OECD.
Kondisi ini diperkuat oleh hasil Asesmen Nasional 2023 yang menunjukkan bahwa mayoritas siswa SD dan SMP belum mencapai kompetensi minimum dalam literasi dan numerasi. Bahkan, menurut laporan World Bank (2023), sebanyak 53% anak Indonesia usia 10 tahun tidak dapat memahami bacaan sederhana, sebuah indikator yang disebut sebagai learning poverty.
Ironisnya, di tengah kondisi seperti ini, pemerintah justru menyusun langkah besar untuk mengintegrasikan teknologi tinggi dalam kurikulum. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa mata pelajaran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan koding akan menjadi bagian dari kurikulum sekolah mulai tahun ajaran 2025/2026.
Meski pemerintah menyebutkan bahwa kedua mata pelajaran ini bersifat pilihan bukan wajib dan hanya diterapkan di sekolah yang siap, hal ini tetap menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana siswa bisa belajar tentang kecerdasan buatan jika memahami dasar saja masih menjadi persoalan, seperti menghitung dan membaca.
Di sisi lain, kompetensi guru juga menjadi tantangan besar. Hasil survei INOVASI (2021) menunjukkan bahwa sebagian besar guru di Indonesia belum memiliki keterampilan teknologi digital dan tidak siap mengajar materi seperti coding atau AI.
Ini menunjukkan bahwa bukan hanya murid, tetapi juga tenaga pendidik belum siap menghadapi perubahan kurikulum yang ambisius tersebut. Jika ditelaah lebih dalam, kekeliruan sistem pendidikan kita terletak pada ketidaksesuaian antara visi dan realitas. Visi besar untuk menyusul negara maju dalam pendidikan berbasis teknologi tampak seperti mimpi indah, namun tanpa pembenahan mendasar pada literasi, numerasi, kesejahteraan guru, serta pemerataan infrastruktur, visi ini justru berpotensi memperlebar jurang ketimpangan pendidikan nasional.
Negara-negara seperti Finlandia dan Jepang dapat menjadi cermin. Finlandia, misalnya, lebih dahulu memastikan semua anak memiliki kemampuan literasi dan berpikir kritis yang baik sebelum mengenalkan teknologi informasi. Di Jepang, penguatan dasar seperti logika matematika dan etika digital dilakukan sejak dini sebelum siswa diperkenalkan dengan sistem pemrograman.
Pendidikan tidak seharusnya menjadi ajang gagah-gagahan. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang mengakar pada konteks sosial dan ekonomi bangsa, dengan penekanan pada pembangunan fondasi berpikir dan nilai. Tanpa hal itu, segala kemewahan kurikulum digital hanyalah ilusi yang tak menyentuh kebutuhan nyata peserta didik.
Pendidikan bukan soal siapa yang paling cepat mengadopsi teknologi, tapi siapa yang paling cermat membangun fondasi. Dalam dunia yang makin kompleks, justru kemampuan berpikir jernih, bernalar, dan berkomunikasi secara efektif lah yang paling dibutuhkan. Indonesia tidak boleh salah jalan dua kali, jangan hanya mengejar kemewahan permukaan dan melupakan bangunan dasarnya. Sebab, bangunan sebesar apa pun akan runtuh jika berdiri di atas tanah yang rapuh.
Oleh : Muhammad Aryaldi/Mahasiswa S1 Jurnalistik Unib
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!