Mengenal Bahasa Pajemas, Lima Bahasa Suku menjadi Satu

D. Fajri
Mengenal Bahasa Pajemas, Lima Bahasa Suku menjadi Satu

Tokoh Masyarakat Paljemas, Lamsir

BENGKULU TENGAH, bengkulunews.co.id – Bengkulu Tengah, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu. Daerah ini tidak hanya memiliki kekayaan potensi wisata alam. Namun, di wilayah ini juga memiliki berbagai kebudayaan yang memiliki nilai historis.

Setiap daerah tentunya memiliki berbagai ragam bahasa daerah. Begitu juga dengan di kabupaten yang memiliki slogan ‘Maroba Kite Maju’. Hal ini ditandai dengan bahasa daerah di kabupaten ini memiliki tiga bahasa suku daerah.

Tiga bahasa suku besar itu, suku Lembak, suku Serawai dan Suku Rejang. Namun, di kabupaten ini juga memiliki satu bahasa, yang dikenal dengan bahasa Paljemas.

Konon, bahasa ini berasal dari daerah di sekitar sungai Penawai. Tepatnya, tak jauh dari Desa Kota Niur Kecamatan Taba Penanjung, Bengkulu Tengah.

Salah satu tokoh masyarakat Paljemas, Lamsir menceritakan, bahasa ini dahulunya bernama Napal Jemas. Dimana asal kata tersebut, diambil dari nama desa yang ditinggali, yakni Desa Napal Ujan Mas.

Sekilas, kata dia, bahasa ini mirip dengan bahasa Melayu. Namun, jika didengarkan dengan seksama, bahasa ini terdengar seperti pencampuran dari lima bahasa daerah. Yakni, bahasa Lembak, bahasa Serawai, bahasa Rejang, bahasa Melayu dan bahasa Minang.

Ia mencontohkan, kosa kata yang menyebut “tidak” dengan kata “Cua”, kosa kata ini mirip dengan yang biasa digunakan dalam penyebutan “tidak”, dalam bahasa Rejang. atau kata “Aih” yang dalam bahasa Minang berarti “Air”.

Begitupun dengan bahasa Serawai seperti pada kata “Parak” yang artinya dekat, selebihnya didominasi oleh bahasa Melayu dengan dialek vokal e, seperti “meliek” atau melihat, “darek” atau kedarat.

Menurut legenda, ulas dia, yang berkembang di masyarakat Paljemas, kemunculan bahasa ini, diawali oleh berkumpulnya enam orang tetua atau Puyang di wilayah yang saat ini masuk kedalam Kecamatan Merigi Sakti.

Enam orang Puyang ini, terang dia, berniat untuk memotong sebuah pohon besar, dengan nama Benuang Sakti. Pohon ini hidup diteras sebuah rumah atau perigi dalam bahasa Paljemas.

”Setelah berhasil menebang pohon tersebut kemudian para tetua bersepakat untuk melakukan upacara pembagian bahasa,” cerita Lamsir, Minggu (28/5/2017).

Pada saat pembagian bahasa, sampai Lamsir, Puyang dari Suku Pajemas terlambat hadir, sehingga tidak lagi mendapat bagian. Lantaran, kelima Puyang lain setuju untuk memberikan sedikit bahasa kepada Puyang Paljemas.
”Bahasa Paljemas terdengar seperti bahasa yang kosa katanya mengandung unsur dari 5 bahasa,” jelas Lamsir.

Ia bercerita, sekira tahun 1940-an, seluruh warga desa yang dipimpin Depati Aliudin atau biasa dipanggil Puyang Mato Abang, sepakat untuk pindah dan meninggalkan desa tersebut. Proses pemindahan ini, membuat pengguna bahasa Paljemas tidak lagi memiliki tempat.

Mereka yang pindah tersebut, ingat Lamsir, berpencar di tiga desa. Seperti, Desa Durian Demang, Desa Sukarami dan Desa Penanding.

Dimana di desa itu mayoritas menggunakan bahasa Rejang dan Serawai. Sehingga bahasa Paljemas mulai terdengar jarang digunakan.

”Waktu pindah, semuanya membaur. Ada yang ikut bahasa Rejang, ada yang bahasa Lembak dan Serawai. Bahasa aslinya mulai hilang. Kecuali kalau kita ketemu,” pungkas Lamsir.

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!