Bengkulu News #KitoNian

Post Truth: Ketika Kebenaran Tidak Lagi Otentik

seminar nasional "Menggugat Post Truth dalam Komunikasi Politik dan Diskursus Keagamaan"

BENGKULU – Kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objek. Demikian yang disampaikan salah satu Dosen Universitas Islam Sunan Kalijaga, Dr. Robby H. Abror, M.Hum, dalam seminar nasional “Menggugat Post Truth dalam Komunikasi Politik dan Diskursus Keagamaan”, di Aula Djama’an Nur Pasca Sarjana IAIN Bengkulu, Sabtu (1/12/2018).

Disampaikan Robby, kebenaran saat ini hanya bersifat subjektif, relatif dan tidak lagi otentik maupun objektif. Setiap orang, katanya, memiliki kebenarannya sendiri dan cenderung tidak lagi memverifikasi informasi yang diterima. Pernyataan Robby ini sekaligus menanggapi potensi terbelahnya masyarakat Indonesia pada pilpres 2019 mendatang.

“Saat ini bangsa kita terbelah menjadi dua kekuatan besar, masing-masing memiliki kebenaran menurut opininya sendiri. Ketika ada yang bertentangan, maka itu mengganggu eksistensinya sehingga dianggap salah,” ujarnya.

Dilanjutkan Robby, era post truth atau pasca kebenaran ini secara aktual dapat dengan mudah dijumpai di dunia maya. Para pengguna media sosial kerap membagikan postingan yang kebenarannya belum teruji. Kondisi ini diperparah dengan adanya sikap politik, yang membuat sebagian masyarakat hanya menerima informasi yang disukai.

“Masyarakat juga tengah mengalami krisis kebenaran dan kerapuhan rohani. Sekarang yang terjadi saling memaksakan kebenaran sesuai selera pribadi kepada lawan bicaranya,” kata Robby.

Robby mengibaratkan era post trut ini sebagai era mitos. Seluruh kenyataan atau kebenaran yang diungkapkan, lanjut robby, hanya didasarkan pada keinginan untuk hidup bebas.

“Realitas yang dikondisikan oleh mesin hasrat bebas dalam masyarakat skizofrenik, yakni masyarakat yang ingin semuanya hidup bebas, lepas dan senang,” jelas Robby.

Senada, Direktur Pasca Sarjana IAIN Bengkulu Prof. Dr. H. Rohimin, M.Ag mengatakan, wilayah kebenaran di tahun politik ini bisa dilihat melalui dominasi sensitifitas agama. Kebenaran yang diterima masyarakat dilihat dari sisi sakral dan dogmatis, sehingga masyarakat dapat dengan mudah diprovokasi.

Keberadaan media sosial, katanya, juga menjadi faktor determinan yang membuat masyarakat Indonesia menjadikan opini pribadi sebagai kebenaran yang harus diikuti. Hal ini umumnya dilandasi pada pengetahuan agama yang tidak optimal, sehingga agama kerap menjadi dasar opini yang hanya membenarkan tindakannya sendiri.

“Kita tidak lagi mendapat kebenaran dari Alquran dan hadist, atau yang bersumber dari kitab, tidak lagi bersifat dialog, hanya pembenaran,” ujar Rohimin.

Baca Juga
Tinggalkan komen