
Satgas Mafia Tanah Polda Banten saat mengungkap sebanyak 690 akta jual beli dan akta hibah palsu yang berada di Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Kamis (29/4/2021)
BENGKULU – Kalau berbicara tentang mafia tanah, maka sebenarnya bisa dinyatakan bahwa mereka itu terorganisir, terstruktur dan tersistematis serta melibatkan banyak pihak. Mereka juga memiliki kemampuan merekayasa hukum dan kemampuan finansial luar biasa. Juga mampu mempengaruhi kebijakan/keputusan pemangku pertanahan atau instansi terkait lainnya.
Perlu dicatat juga, biasanya mereka ini mengincar/merampok lahan pertanahan yang bernilai tinggi untuk suatu kepentingan pembangunan atau yang bernilai ekonomis luar biasa. Mereka juga pelobi dan pemalsu ulung yang sudah profesional.
Modus yang sering mereka lakukan adalah dengan pembuatan/merekayasa dokumen pemilik palsu atas bukti kepemilikan hak atas tanah, yang tentu saja bodong atau dapat juga dikategorikan sebagai “Mafia Tanah” jenis baru. Yaitu dengan modus merekayasa sedemikian rupa pembelian tanah secara murah, untuk kemudian dilakukan penjualan tanah tersebut kepada pihak pemerintah untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah. Caranya dengan melakukan mark up terhadap harga jual, merendahkan pembayaran BPHTB dan PPh, atau membuat kuitansi penjualan fiktif.
Di belakang mereka biasanya terdapat pemimpin, aktor intelektual dan pemodal atas kejahatan tersebut. Tidak seperti kasus sengketa lahan kebun atau pertanian yang hanya melibatkan warga lokal karena dobel surat keterangan tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa.
Dalam hal ini tidak semua kasus pertanahan bisa dimasukkan dalam kategori kejahatan dengan berlabel sebagai “Mafia Tanah”, karena apabila belum memenuhi kriteria di atas, maka hal itu merupakan kejahatan pidana biasa, atau sengketa perdata atau kasus administrasi saja.
Kita harus berhati – hati menggunakan istilah “Mafia”, terutama untuk kasus – kasus pertanahan, karena “Mafia Tanah” merupakan kejahatan yang dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa, karena dapat merusak tatanan hukum dan menghambat pembangunan, bahkan merugikan perekonomian negara dalam arti luas. Pembuktiannya juga harus dengan menggunakan cara – cara yang luar biasa. Termasuk mengungkap atau membongkarnya juga melibatkan banyak pihak dan ahli – ahli di bidangnya.
Jangan sampai banyak kasus pertanahan yang terjadi atau sengketa pertanahan atau pembebasan lahan pertanahan yang ditangani oleh instansi terkait atau dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan haknya, dimanfaatkan untuk kepentingan pihak pihak tertentu dengan menciptakan suatu stigma adanya permainan “Mafia Tanah”
Dengan diberikannya stigma oleh instansi terkait seolah – olah adanya suatu kasus pertanahan dipersepsikan sebagai “Mafia Tanah”, maka dikhawatirkan legalitas pembebasan lahan pertanahan dan sengketa lahan antara petani dan pengusaha, termasuk sengketa tanah antara developer dengan masyarakat pemilik tanah, juga akan dituduh, ditangani atau bahkan mungkin diproses sebagai kejahatan yang terkategori sebagai “Mafia Tanah”
Jangan sampai terjadi kasus pertanahan yang semestinya hanya diproses dengan pidana biasa, ataupun merupakan wilayah hukum perdata ataupun hukum administrasi negara juga akan dituduh dan ditangani dengan penegakan hukum sebagai kejahatan yang terorganisir.
Seharusnya sengketa pertanahan yang sedang ditangani oleh instansi terkait dalam rangka penegakan hukum ataupun sedang diperiksa melalui proses persidangan di pengadilan ataupun bahkan sudah diputus oleh hakim dan berkekuatan hukum tetap tidak dapat serta merta dianggap sebagai adanya permainan dari “Mafia Tanah”, karena ada begitu banyak sebab, latar belakang, dan modus terjadinya kasus – kasus pertanahan.
Apabila hal demikian terjadi karena instansi terkait tidak dapat membedakan penanganan dalam penegakan hukumnya, maka penegakan hukum terhadap kasus – kasus pertanahan oleh stake holder terkait tidak akan pernah menyentuh penyelesaian yang komprehensif dan menyeluruh, bahkan akan mengorbankan orang – orang yang tidak bersalah.
Akhirnya sering kali terjadi “M A F I A -nya” tidak dapat tersentuh dan tidak terlihat, alias “Hantu”. Sebaliknya, yang menjadi korban adalah rakyat dan pihak swasta yang murni berinvestasi untuk negara ini, bahkan Notaris dan PPAT yang sering kali secara tidak langsung turut menjadi korban.
Dalam hal penanganan penegakan hukum terhadap kasus – kasus pertanahan oleh instansi terkait dalam rangka mengantisipasi terhindarnya masyarakat dari stigma sebagai “Mafia Tanah”, maka instansi terkait wajib memiliki dan menjalankan SOP penanganan sengketa pertanahan secara profesional dengan panduan peraturan perundang
– undangan.
Karena justru pada saat sekarang ini guna menghindari terjadinya salah penanganan, maka penegakan hukumnya harus diletakkan dengan mengkedepankan prinsip – prinsip kepastian hukum dan keadilan yang hanya berdasarkan hukum belaka.
Hal ini dapat dilakukan melalui proses penyidikan, penuntutan dan peradilan yang adil serta objektif dalam memperlakukan setiap warga negara yang bersengketa terhadap suatu objek hak atas tanah yang disengketakan. Dengan cara tetap memegang landasan keadilan, bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama berdasarkan undang – undang dalam rangka untuk membuktikan legalitas kepemilikan tanahnya di hadapan hukum yang berlaku di negara ini.
Penulis merupakan Ketua Pengurus Daerah Bengkulu INI & IPPAT
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!