Logo

Menggantang Potensi Biogas Berbasis Limbah Sawit

INDONESIA patut berbangga atas kelebihan yang dimilikinya. Sebab, terhampar luas lahan di sepanjang tapak pertiwi ini.

Rindang dengan tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan buah yang lezat guna disantap.

Alam yang sejuk dan damai, menjadi ekosistem yang sempurna untuk manusia ataupun hewan.

Kenyamanan akan alam ini membuat manusia berlomba-lomba untuk menjarahnya.

Sebab, menjadi sebuah kenikmatan dan kebanggaan ketika bisa memperoleh sesuatu dengan lebih.

Mereka, manusia yang sudah disebutkan tadi, terus mengeruk harta bumi, hingga ke titik dimana mereka bisa puas.

Mungkin manusia-manusia ini tidak sadar, bahwa setiap pilihan tentunya ada pengorbanan.

Dalam konteks ini, opsi mengeksploitasi alam bakal menghasilkan suatu konsekuensi.

Sebut saja tindakan ini akan berdampak pada pencemaran lingkungan, misalnya.

Alih-alih membuka mata, mereka enggan menengok ke belakang dan memilih untuk memunggungi realita yang pahit.

Sama halnya dengan lahan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia.

Lahan yang berluaskan 14,31 juta ha ini, membuat Tanah Air menyandang status sebagai produsen minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia.

Dikabarkan Indonesia dapat menghasilkan CPO yang terlampu banyak, yang mana nilainya mencapai 32 juta ton per tahun.

Lantas, produksi CPO ini kemudian menjadi andalan industri perkebunan kelapa sawit nasional.

Sampai-sampai di titik dimana membantu pembangunan nasional

Kendati demikian, produksi CPO yang berlimpah ini diakibatkan oleh maraknya jumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) nasional.

Aktivitas produksi PKS menyita perhatian publik, lantaran volume limbah padatan dan cairan yang dihasilkan sangat besar.

Mengutip Haryani dkk. (2014), 1 ton kelapa sawit dikabarkan mampu menghasilkan limbah berupa tandan kosong kelapa sawit sebanyak 23% atau 230 kg, limbah cangkang sebanyak 6,5% atau 65 kg, serabut 13% atau 130 kg, dan limbah cair sebanyak 50%.

Keberadaan limbah PKS ini, kerap tentu berpotensi besar untuk mencemari lingkungan.

Riau, sebagai salah satu daerah yang memiliki lahan kelapa sawit terluas, dengan nilai mencapai 2,2 juta ha, berpotensi menghasilkan 6,5 juta ton minyak sawit per tahun dan limbah cair sebanyak 16,25 juta m3.

Selain itu, emisi CO2 yang dihasilkan ada sekitar 568 ribu ton per tahun.

Oleh karena itu, diperlukan penanganan limbah PKS yang baik agar dapat mengurangi kuantitas pencemaran lingkungan.

Limbah ini daripada dibiarkan bertebaran dimana-mana, akan lebih baik jika digunakan sebagai bahan baku teknologi energi terbarukan.

Salah satunya untuk pengoperasian Pembangkit Listrik Teknologi Biogas (PLTBg).

Untuk PLTBg, bahan baku yang digunakan untuk menjalankan reaktor adalah palm oil mill effluent (POME) atau limbah cair dari pabrik kelapa sawit.

Kandungan organik dalam limbah cair sawit ini kemudian difermentasi dengan bakteri secara anaerobik (kedap udara), untuk menghasilkan biogas yang memuat gas metana. POME sebanyak 0,6-0,7 ton, diasumsikan dapat menghasilkan biogas sekitar 20 m3.

Maka 147 juta ton POME bisa menghasilkan 4127 juta m3 biogas.
Biogas ini nantinya bisa menghasilkan listrik yang sangat berlimpah.

Menurut Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, potensi energi listrik yang dihasilkan dari POME mencapai 12.654 mega watt.

Jumlah listrik ini, tentu mampu menghidupi ribuan rumah tangga.

Tentu ini menjadi solusi terbaik bagi daerah-daerah yang kekurangan pasokan listrik dari PLN.

Di samping itu, otoritas setempat dapat menambah pendapatan yang surplus.

Masyarakat lokal akan diuntungkan dengan biogas yang relatif murah dibandingkan LPG dan lainnya.

Sebab, PLTBg berbasis POME ini dapat beroperasi 24 jam secara stabil.

Maka dari itu, pemerintah perlu memfokuskan perhatiannya untuk menjalankan PKS sembari membangun PLTBg.

Caranya dengan memberikan investasi kepada aktor swasta guna keberlanjutan PLTBg, mempermudah bankability pembangunan PLTBg, serta membuat sistem regulasi dan koordinasi yang jelas.

Apabila sudah di tahap impelentasi, pemerintah wajib dengan seksama mengawasi tahap pengoperasian dan manajemen, melihat apakah ada kendala atau tidak.

Tindakan ini kalau bisa dilakukan secara berkala. Diperlukan juga pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat setempat, baik dari segi pengoperasian, manajemen, dan penjagaan alat.

Masyarakat juga harus didorong untuk semangat menjalankan PLTBg dengan berpikir manfaat jangka panjang, yakni penghematan pengeluaran.

Penulis adalah Mahasiswi S1 Program Studi Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada. Juga penulis buku “Menyelami Jejak Warta Nusantara