Logo

Menakar SK Bersama Mendagri, Menpan RB Kepala BKN VS Eko Agusrianto

PENEMPATAN Eko Agusrianto yang disebut-sebut sebagai mantan Napi (Nara Pidana) yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah) pada jabatan Sekretaris Dinas Komunikasi, Informasi dan Persandian (Kominfosan) Kota Bengkulu, menjadi perdebatan hebat.

Konsorsium LSM Nasional Provinsi Bengkulu, pada dua kali aksi Demonya yaitu Senin, 17 Juni 2019 dan Senin, 24 Juni 2019, salah satu poin tuntutannya yang krusial pada Demo pertama adalah meminta KASN, Menteri Dalam Negeri dan Kemenpan RB memberikan sanksi terhadap Plt Kepala BKPP, Sehmi Alnur, karena mengangkat dan mempromosikan eks Terpidana saudara Eko Agusrianto pada jabatan Sekretaris Kominfosan, padahal yang bersangkutan juga pernah menjadi tersangka kasus HPN tahun 2014.

Sementara pada aksi Demo kedua, bahwa pengangkatan salah satu ASN (Eko Agusrianto) sebagai Sekretaris Dinas tidak sesuai dengan UU ASN (Undang-Undang Aparatur Sipil Negara). “Memang benar kasusnya Pidana Umum. Namun itu terkait dengan jabatannya, yakni terkait proyek,” kata Syaiful Anwar, sebagaimana dikutip klikwarta.com

Pasca aksi Demo Konsorsium LSM Nasional Provinsi Bengkulu, pada Senin 17 Juni 2019, anggota DPRD Kota Bengkulu melakukan hearing bersama Plt Kepala BKPP (Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan) Kota Bengkulu, Sehmi Alnur.

Pada hearing tersebut, sebagaimana dikutip pedomanbengkulu.com, Sehmi menjelaskan bahwa mutasi yang dilakukan Pemkot Bengkulu tidak menyalahi Aturan yang berlaku. “Ini tidak menyalahi aturan, cuma penafsiran saja. Tadi ada yang menanyakan soal pelantikan jabatan Eks (mantan) Napi. Ini tentu saja sangat ekstrem. Rekam jejak kita, kasus beliau (Eko Agusrianto) bukan Tindak Pidana Korupsi melainkan Pidana Umum biasa. Jadi ada hak setiap orang. (Jangan) mentang-(mentang) dia pernah bersalah langsung kita vonis dan justifikasi tidak boleh berkembang dan berkarya. Beliau ini berkompeten di bidangnya,” ungkap Sehmi.

Sehmi menambahkan, bahwa jabatan Sekretaris Dinas Kominfosan Kota Bengkulu yang saat ini dijabat Eko Agusrianto sangat layak karena sudah berkompeten di bidang tersebut. “Beliau punya kompetensi yang bagus untuk hal Komunikasi Informasi, Beliau mantan aktivis Pers di Bandung. Dia juga tokoh pers Mahasiswa. Beliau juga selain berpengalaman pernah bekerja di Media Koran Harian di Bengkulu, juga pernah menjabat di OPD Kominfo Provinsi Bengkulu. Jadi, jangan karena hal tersebut kita men-justifikasi orang lain untuk tumbuh berkembang dan berkarya,” tegas Sehmi.

Sementara media online bengkulunews mewartakan, bahwa pada mutasi eselon III dan IV serta jabatan Kepala Sekolah Pemerintah Kota Bengkulu satu dari 13 pejabat eselon III yang dilantik diketahui mantan Napi kasus Pidana Penipuan tahun 2014, dan pernah menjadi tersangka Kosupsi dana HPN tahun 2014.

Adalah Eko Agusrianto, dilantik sebagai Sekretaris Dinas Kominfosan Kota Bengkulu, menggantikan Eka Susanti. Sebagaimana diketahui, Eko terjerat Pasal 378 dan 372 KUHP tentang Penipuan dan Penggelapan. Kasus tersebut terungkap setelah korban, Haryadi, Warga Jalan Semeru, Kota Bengkulu, melaporkannya ke Polres Kota Bengkulu pada 22 Maret 2014. Haryadi mengaku tertipu Rp.399 juta dalam Pengadaan Proyek Barang-Barang Inventaris yang diadakan oleh Dispenda Provinsi Bengkulu tahun 2012.

Eko Agusrianto, ketika itu sebagai Sekretaris Dispenda Provinsi Bengkulu, menjanjikan akan memberi proyek kepada korban (tetapi tidak terealisasi). Dalam kasus tersebut, salah seorang staf Dispenda Provinsi Bengkulu, Abasri, juga ikut terlibat. Eko ditetapkan tersangka setelah Polisi mengumpulkan Barang Bukti berupa iPad, Printer, Meja Kursi dan Komputer. Pada Kamis 17 Juli 2014, Eko Agusrianto divonis 3,5 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu.

Silang pendapat pemahaman tentang status hukum Eko Agusrianto antara Konsorsium LSM Nasional Provinsi Bengkulu melalui juru bicaranya, Syaiful Anwar, dengan Pemerintah Kota Bengkulu diwakili oleh Plt Kepala BKPP Kota Bengkulu, Sehmi Ainur, diyakini sama-sama mengacu kepada Keputusan Bersama Mendagri, Menpan RB dan Kepala BKN Nomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018 dan Nomor 153/Kep/2018.

Sebenarnya, dalam kata MEMUTUSKAN dan MENETAPKAN dalam SK bersama itu sudah sangat jelas disebutkan, yaitu: Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian Negara tentang Penegakkan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan TINDAK PIDANA KEJAHATAN JABATAN ATAU TINDAK PIDANA KEJAHATAN YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN JABATAN.

Demikian juga dengan yang tertuang pada angka kesatu dalam penetapan, ditegaskan bahwa tujuan keputusan bersama ini dalam rangka sinergitas dan koordinasi Kementrian/Lembaga dalam rangka Penegakan Hukum khususnya terkait Penjatuhan Sanksi berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS yang telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum tetap karena Melakukan Tindak Pidana Kejaatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang Ada Hubungannya dengan Jabatan.

Tanpa berniat mempengaruhi, menengahi apalagi menggurui siapapun dan pihak manapun, jika kita sama-sama berusaha memahami secara objektif kalimat di SK Bersama tersebut dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang benar dan baik, dengan mengesampingkan status hukum Eko Agusrianto pada jabatannya sebagai Sekretaris Dinas Kominfosan Kota Bengkulu, tidak ada Satu Kata pun yang menyebutkan Mantan Napi Koruptor.

Adalah menjadi logis, jika kemudian kalimat Tindak Pidana Kejahatan Jabatan Didefinisikan Tindak Pidana Korupsi, karena dapat dipastikan akan berimplikasi langsung dengan kemungkian terjadinya Kerugian Keuangan Negara.

Hanya saja, yang mungkin masih menjadi silang pendapat dan masih bisa terus diperdebatkan adalah, bentuk tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan yang dapat dimaknakan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Contoh sederana, misalnya, apakah jika seorang pejabat menjanjikan (akan memberi) proyek yang dananya tentu saja bersumber dari APBD atau APBN kepada pihak swasta yang sudah memberikan imbalan sejumlah Uang fee’ apakah bisa dikatagorikan sebagai Tindak Pidana Kejahatan yang Ada hubungannya dengan jabatan.

Memang, pada kasus semacam itu ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, jika proyek yang dijanjikan oleh si pejabat kepada pihak swasta yang sudah memberikan imbalan sejumlah uang terealisasi, maka dapat disimpulkan bahwa si pejabat bersangkutan sudah mengutip uang fee proyek, itu tentu saja korupsi. Jika kemudian kasusnya terungkap lalu diproses secara hukum, dan oleh majelis hakim si pejabat divonis bersalah dengan hukuman penjara, meski tidak terkait langsung dengan fisik proyek maka akan berlaku devinisi Tindak Pedana Kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan sebagaimana dimaksud SK bersama Mendagri, Menpan RB dan Kepala BKN.

Lantas, bagaimana jika proyek yang dijanjikan oleh si pejabat ke pihak swasta yang sudah memberikan imbalan sejumlah uang (semacam fee) tidak terealisasi. Kemudian pihak swasta yang merasa dirugikan mengadu ke pihak aparat penegak hukum lalu diproses dan Majelis Hakim menyatakan si pejabat terbukti bersalah (penipuan-penggelapan) lalu diganjar hukuman penjara, seperti kasus Eko Agusrianto yang pada saat menjanjikan proyek adalah Sekretaris pada Dispenda Provinsi Bengkulu, apakah itu termasuk Tindak Pidana Kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan sebagaimana dimaksud SK bersama Mendagri, Menpan RB dan Kepala BKN, tentu saja hanya pemahaman hukum yang benar yang bisa menjawab.

Namun terlepas dari itu semua, Ketua DPRD Kota Bengkulu, Baidari Citra Dewi, kepada peserta aksi Demo, mengatakan, bawa DPRD sudah membentuk Pansus terkait Mutasi. Bahkan menurutnya, Pansus juga sudah ke KASN dan BKN. (**)

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Surat Kabar Umum Idealis