Logo

Kekerasan Seksual Menempati Urutan Pertama di Bengkulu

Ilustrasi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ilustrasi, Dok.BN

BENGKULU – Hampir setiap hari media di Bengkulu memberitakan kasus kekerasan seksual dengan korban anak. Pelakunya rata-rata orang dekat. Mulai dari orang tua kandung, kerabat, teman atau pacar hingga tetangga.

Data Simfoni PPA yang diakses Selasa (4/10), sepanjang tahun 2022, hingga bulan September, diketahui ada 156 kasus kekerasan di Provinsi Bengkulu. Siapa yang paling banyak menjadi korban? Didominasi perempuan sebanyak 152 orang dan laki-laki 20 orang.

Kekerasan seksual mendominasi jenis kekerasan yang dialami korban, sebanyak 92 kasus, menyusul kekerasan psikis 53 kasus, kekerasan fisik 50 kasus, kekerasan lainnya 8 kasus. Kemudian kekerasan berupa penelantaran 5 kasus, eksploitasi 1 kasus dan trafficking 1 kasus.

Rumah tangga menjadi tempat kejadian tertinggi dalam kekerasan, yakni 107 kasus. Kemudian fasilitas umum 21 kasus, lainnya 14 kasus, sekolah 11 kasus, tempat kerja 2 kasus dan lembaga pendidikan kilat 1 kasus.

Sementara untuk korban berdasarkan usia paling banyak dialami anak-anak usia 13-17 tahun sebanyak 66 kasus, kemudian anak usia 6-12 tahun sebanyak 43 kasus, usia 25-44 tahun sebanyak 36 kasus. Kemudian usia 18-24 tahun sebanyak 17 kasus, usia 0-5 tahun sebanyak 7 kasus dan usia 45-59 tahun sebanyak 3 kasus.

Apa yang harus dilakukan?

Direktur Yayasan Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA), Susi Handayani mengatakan masih tingginya angka kekerasan seksual dengan korban anak akibat kurangnya pengetahuan tentang pendidikan reproduksi. Edukasi tentang seks masih dianggap sesuatu yang tabu dan belum layak untuk diajarkan pada anak.

“Sekolah masih memahami bahwa anak itu memang tidak harus terlalu dini mendapatkan informasi terkait seks,” kata Susi.

Tidak adanya pendidikan reproduksi yang terbuka, membuat anak-anak mencari tahu sendiri. Sehingga tidak sedikit mendapatkan dari jalan yang salah. Seperti mengakses konten 17 tahun plus.

Padahal, kata Susi, edukasi seks atau pendidikan reproduksi yang dimaksudkan dalam pembelajaran berisi materi bagian reproduksi kesehatan, cara-cara menjaga alat reproduksi, serta bagaimana caranya menolak kekerasan yang terjadi.

Pendidikan reproduksi yang tepat dapat menutup celah predator, serta menghindarkan anak dari perbuatan yang berisiko pada kesehatan dan kerusakan mental. Seperti saat terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.

“Kalau misal tidak diberikan pendidikan dan ia melakukan seks bebas maka risikonya bisa hamil, terjadilah kehamilan yang tidak diinginkan. Lalu membuat anak ini stress dan akhirnya melakukan aborsi, juga akan menyebabkan kesehatan mental serta kematian,” ungkap Susi.

Menurut Susi, ada tahapan panjang dalam pemberian materi tersebut. Mulai dari keterampilan mengidentifikasi ancaman-ancaman atau tindakan yang mengarah pada organ reproduksi.

Kemudian tips dan trik memberikan pendidikan reproduksi berdasarkan tingkatan umur dan materi yang diberikan.

Contohnya pada murid SD yang duduk di bangku kelas 3 kebawah tidak dapat serta merta langsung menyinggung perihal edukasi seks, namun dapat mengenalkan anak pada organ-organ reproduksi yang ada pada tubuh. Materi tersebut bisa disampaikan lewat lagu, permainan, gambar maupun permainan boneka.

Anak akan diajarkan memahami bahwa boneka merupakan perwakilan diri yang dibagian tertentu tidak boleh disentuh oleh orang lain, lalu perbedaan reproduksi pria dan wanita lewat permainan.

“Juga bisa buat puzzle dipotong-potong dan nanti mereka yang susun. Mereka tahu nanti oh mana bagian yang hilang. Nah biasanya lewat pendekatan-pendekatan itu kita lakukan,” tutur Susi.

Sedangkan untuk murid kelas 4 hingga kelas 6 baru bisa diajak mendiskusikan lebih lanjut perihal edukasi seks. Sementara pada siswa SMP sudah bisa diajarkan bagaimana menjaga hubungan relasi lawan jenis, begitu juga untuk pelajar SMA lebih membahas perihal dampak setelah melakukan hubungan seks maupun penyakit-penyakit menular.

Tahapan-tahapan tersebut harus diakses dan disampaikan pada anak secara langsung, sesuai dengan konsep pendidikan merdeka belajar. Para guru diharuskan mencari materi dan metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan anak. Materi ini bisa disampaikan secara mudah oleh guru biologi, olahraga, maupun IPA yang mempelajari perihal pertumbuhan jasmani anak.

Untuk lebih optimal, tanggung jawab ini tidak berlaku pada guru saja, peran orangtua dan masyarakat juga penting dalam memberikan edukasi. Orangtua mampu mendiskusikan dan berdialog pada anak serta berkomunikasi mengenai edukasi seks.

Seperti mempelajari hal tersebut dari organisasi masyarakat terkait Kesehatan reproduksi dan lainnya, sehingga banyak media yang bisa diakses anak untuk mengerti dan memahaminya.

Salah satunya media sosial yang memiliki muatan edukasi yang baik, dalam membuat konten-konten tentang Kesehatan reproduksi yang menarik dan mudah dipahami.

Namun melihat kondisi saat ini sekolah masih memiliki kendala dalam bidang kekurangan SDM dan guru yang ada saat ini belum mampu memberikan penjelasan yang baik. Sebaiknya pihak sekolah dapat melakukan klaborasi dengan Lembaga masyarakat ataupun Dinas Kesehatan dalam memberikan materi terhadap anak mengenai edukasi seks.

“Sementara hal ini penting, karena Menteri Pendidikan mengakui ada tiga dosa besar di dunia pendidikan, yang pertama adalah intoleransi, kedua kekerasan seksual, ketiga bullying. Jadi tiga tindakan ini sagat terkait dengan pengetahuan dan keterampilan kesehatan reproduksi,” tegasnya.

Edukasi seks kata Susi, adalah tanggung jawab pihak sekolah, orangtua dan masyarakat dalam memberikan pengertian terhadap anak.

Akan sangat baik apabila sekolah dapat berkolaborasi juga dengan menteri pendidikan terkait modul belajar siswa, sehingga edukasi seks dijadikan materi dalam satu kurikulum mata pelajaran.

Mengingat modul mengenai pendidikan reproduksi cukup menyita waktu dan memiliki tahapaan panjang, sehingga pihak sekolah harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan.

“Tapi juga dia masuk ke salah satu materi pembelajaran, apakah misalnya pelajaran biologi atau pembelajaran olahraga. Nantinya itu bisa jadi pertimbangan-pertimbangan tim kurikulum kementerian,” jelas Susi.

Susi berharap guru yang ada di setiap sekolah menjadi pendorong dalam memberikan edukasi seks terhadap anak, serta dapat membuat metode belajar yang lebih menyenangkan, kreatif dan inovatif sehingga anak merasa belajar itu menyenangkan dan memahami konteksnya.

“Jadi misalnya kalau kita ingin melakukan pembelajar tentang pelajaran seksual, maka anak itu tidak merasa bahwa ia diceramahi, dicekoki, tapi anak belajar memahami tubuhnya. Lalu mengenali tubuhnya, kemudian dia tahu bagaimana sebenarnya konteks organ reproduksinya,” demikian Susi.

*) Tulisan ini diproduksi kerjasama Bincang Perempuan dan Bengkulu News sebagai program peningkatan kapasitas jurnalis perempuan menulis berita berperspektif gender “Perempuan dalam Ruang Publik