Logo

Kain Besurek, Terkenal Tapi Tak Dikenal

Ibu Eli Sumiati, Pengerajin Batik Besurek

KOTA BENGKULU, bengkulunews.co.id – Kain Besurek atau biasa disebut Batik Besurek merupakan kerajinan tangan khas Bengkulu. Kerajinan ini telah diakui di Indonesia melalui ketetapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI No.85104/MPK.E/DO/2015, sebagai warisan budaya tak benda milik Provinsi Bengkulu. Disebut Tak Benda karena Kain Besurek diakui bukan sebagai hasil produksi kebendaan, melainkan seni, tradisi ataupun nilai yang terkandung didalam pembuatannya.

Seperti dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, “Bahwa Warisan Budaya Tak Benda adalah seluruh hasil perbuatan dan pemikiran yang terwujud dalam identitas, ideologi, mitologi, ungkapan konkrit dalam bentuk suara, gerak maupun gagasan yang termuat dalam benda, sistem perilaku, sistem kepercayaan dan adat istiadat”. Jika digolongkan kembali, maka dapat kita tempatkan posisi Kain Besurek pada golongan hasil perbuatan yang termuat ke dalam sebuah benda, dalam hal ini benda yang dimaksud adalah kain yang menjadi kanvas untuk membatik.

Dengan adanya ketetapan itu, perjuangan panjang untuk menjaga warisan asli Bumi Rafflesia inipun dirasa telah usai. Pemerintah hanya tinggal menyusun strategi agar kain ini dapat lebih membumi khususnya untuk warga Bengkulu. Berbagai macam cara dilakukan, mulai dari mengikut sertakan batik besurek pada perlombaan batik nasional, sampai pada menerapkan kerajinan membatik di sekolah-sekolah kejuruan. Sayangnya, tidak satupun dari upaya tersebut yang menyentuh sisi nilai dari eksistensi Kain Besurek. Pemerintah seolah hanya berkutat pada unit produksi dan upaya menjaga nama Kain Besurek dari kepunahan.

Padahal jika berbicara tentang budaya, tentu wajib rasanya berbicara tentang nilai apa yang terkandung di dalamnya. Sebab, konsep nilai menurut Theodorson dalam Pelly (1994) merupakan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Pedoman dan prinsip inilah yang akan menentukan jalannya unsur-unsur pembentuk sebuah budaya, yang dikatakan Selo Soemardjan sebagai hasil karya, rasa dan juga cipta masyarakat.

Alcala Zamora, Peneliti Batik Besurek

Ketiadaan nilai ini juga diakui oleh salah seorang peneliti Kain Besurek, Alcala Zamora. Minimnya sumber dan bukti yang valid, membuat penelusuran sejarah untuk mengetahui kandungan nilai dari Kain Besurek menemui jalan buntu. Makna dan maksud dari simbol dan ukiran yang tertera, serta sedikit fakta tentang pengguna Kain Besurek yang ekslusif, hanya membawanya pada asumsi tujuh arti dasar.

Seperti pada lambang Kaligrafi Arab, Rembulan yang menunjukkan arti ciptaan Tuhan, lambang Melati yang menyiratkan alam, Burung Kuau yang melambangkan alam, Pohon Hayat, Kembang Cengkeh, serta Paku Burung dan Burung Punai yang menunjukkan Flora dan Fauna. Jika dipersempit lagi, ketujuhnya hanya memiliki tiga arti dasar yakni, Kaligrafi Arab, Alam dan Ciptaan Tuhan.

Akan tetapi, tujuh perlambangan ini, disebutkan Alcala memiliki fungsi yang berbeda yang hingga kini tidak diketahui apa alasan dibalik perbedaan fungsinya tersebut.

Menurut Alcala, kuat dugaan jika Kain Besurek pertama kali dibawa oleh Pangeran Sentot Alibasya ketika diasingkan di Bengkulu pada tahun 1830. Dugaan ini didasari oleh banyaknya pengguna dan pengerajin Kain Besurek yang berasal dari keturunan Pangeran Sentot Alibasya. Jika dilandasi pada profil sang pangeran, salah satu nilai yang dapat dipetik dari seni menulis huruf hijaiyah pada kain ini mungkin dapat disimpulkan sebagai pengaruh perkembangan agama Islam pada waktu itu. Sementara mengenai simbol-simbol lain yang turut menghiasi keindahan Kain Besurek hanyalah identitas yang menunjukkan bahwa kerajinan ini berasal dari Provinsi Bengkulu.

Sertifikat dari Kemendibud RI sebagai warisan budaya tak benda milik Provinsi Bengkulu

Ada juga dugaan yang mengatakan jika Kain Besurek dibawa oleh pedagang Arab ke Bengkulu sekitar abad ke 17. Melalui akulturasi budaya maka lahirlah perpaduan kaligrafi dan membatik. Hal ini tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut, mengingat kaburnya sejarah beresiko pada kaburnya arah masa depan generasi suatu daerah.

Seperti yang diungkapkan Allan Nevins dalam bukunya Gateway to History, “When we use the word history we instinctively think of the past, this is an error, because history is actually a bridge connecting the past with the present, and pointing the road to the future” (Ketika kita menggunakan kata sejarah, secara insting kita akan berpikir tentang masa lalu, ini adalah kesalahan sebab sejarah adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang serta arah masa depan).

Jika sejarahnya kabur, lalu bagaimana cara kita menggali nilai yang sebenarnya terkandung dari Kain Besurek? Pertanyaannya juga berlanjut pada apa yang menjadi pedoman bagi generasi penerus warisan leluhur ini untuk tetap menjaga kemurnian Kain Besurek?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab oleh pemerintah melalui program yang tidak hanya menyentuh sisi produksi maupun sekedar kerajinan membatik. Sebab, jika tidak ada urutan yang pasti mengenai Kain Besurek, muncul kekhawatiran jika simbol-simbol yang digunakan nantinya tidak lagi relevan dengan jati diri Bumi Rafflesia, atau bahkan menggunakan simbol yang berasal dari budaya asing yang sedang trend.

Kesepakatan-kesepakatan mengenai arti simbol dan nilai ini nampaknya perlu juga untuk disosialisasikan, bukan hanya sekedar tekhnik membatik tradisional yang semua tahu bahwa membatik bukan kerajinan yang hanya ada di Bengkulu. Terlebih, menurut salah seorang pelestari Kain Besurek, Elly Sumiati, dari seluruh pengerajin yang tersisa saat ini, hanya dua orang yang merupakan keturunan asli Bengkulu, sementara sisanya berasal dari Jawa namun telah menetap di Bengkulu.

Pemerintah sepertinya harus mengambil langkah cepat. Pengenalan terhadap Nilai dan Seni membatik Kaligrafi Arab mesti juga diikutkan dalam sosialisasinya mengangkat Kain Besurek ke permukaan. Bisa juga dengan membawa simbol yang terpampang pada Kain Besurek sebagai tanda pengenal yang diurai disetiap sudut wilayah Provinsi Bengkulu, lengkap dengan makna yang terkandung. Jangan sampai, warisan leluhur ini hanya terkenal dan diketahui bentuk fisik dan cirinya semata.

Sehingga, ketika dihadapkan pada pertanyaan “apa itu kain besurek?” masyarakat tidak akan menjawabnya seperti menjawab nama seorang artis mancanegara yang terkenal, tanpa tahu siapa orang itu sebenarnya.