Bengkulu News #KitoNian

Cerita Syahdu di Balik Terangnya Pelita Puja bagi Umat Budha

Pelita Puja berbentuk swastika di Vihara Budhayana Bengkulu. Foto, Cindy/BN

Pelita Puja merupakan sumbu lilin apung yang diletakkan dalam wadah atau gelas, berisikan minyak kelapa. Biasanya Pelita puja akan dihidupkan saat umat mulai melaksanakan ritual, sembari membacakan kitab di Vihara.

Ketua Vihara Buddhayana Bengkulu, Chandra Metta menuturkan Pelita Puja memiliki sejarah panjang. Puja dengan lampu merupakan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Guru Agung Sakyamuni.

“Di sana Guru Agung Sakyamuni Buddha, menunjukkan kepada kita bahwa kehendak yang tulus dalam memuja pastilah akan menghasilkan buah karma membahagiakan,” kata Romo Chandra pada Bengkulunews.co.id Kamis (19/01/23) siang.

Suatu ketika Yang Maha Suci mengunjungi suatu desa kecil di pelosok India. Mendengar berita mengenai kedatangan Guru para Dewa dan manusia, warga berduyun-duyun  untuk memberikan penghormatan dan mendengarkan nasihatnya.

Seorang janda tua yang miskin terlihat di antara ratusan manusia itu. Ia merasa tidak memiliki harta benda untuk dipersembahkan kepada sang Budhha. Namun Ia bertekad untuk memberikan persembahan tersebut. Dengan berani sang janda tua memotong rambutnya agar dapat ditukar sesuatu.

“Dibawanya potongan rambut itu kesana kemari, sampai akhirnya berhasil juga ditukar dengan minyak sebanyak setengah tempurung kelapa. Sekedar bisa dinyalakan sebagai lampu pelita untuk menghormati Sang Guru Dunia,” tegasnya.

Setelah menukarkan potongan rambutnya dengan minyak untuk lampu pelita, bergabunglah Ia dengan orang-orang lainnya menuju tempat Sang Buddha berada. Ratusan manusia kala itu tengah melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, namun Dewa Sakka (Raja para Dewa) mendatangkan angin kencang.

Suasana yang tadinya khusyuk berubah menjadi ramai. Di tengah-tengah keributan itu terjadilah sebuah keajaiban. Ketika semua lampu pelita padam, ada satu pelita yang masih menyala bahkan tidak berkedip sedikitpun.

Lampu pelita tersebut berwadahkan tempurung kelapa dan berisi minyak dengan api kecil yang pemiliknya adalah seorang janda tua. Kemudian dengan segala keagungan-Nya, sang Buddha mulai bersabda bahwa pelita yang masih menyala merupakan persembahan tulus dan disertai pengorbanan.

“Lalu Buddha berkata seperti ini, duhai anak-anakku, ketahuilah bahwa pelita yang tetap menyala ini adalah hasil persembahan disertai pengorbanan dan ketulusan hati dari seseorang yan saat ini duduk di paling belakang. Ia merasa tidak pantas untuk duduk di barisan depan, irinya merasa kecil untuk sejajar dengan kalian,” jelas Chandra.

Ketika Buddha bersabda maka ratusan orang tersebut mengalihkan pandangan kepada seorang wanita tua, dengan rambut terpotong pendek. Kembali Buddha mengatakan bahwa rambutnya telah dipotong hingga nyaris habis, kemudian ditukarkan dengan minyak. Dengan minyak itulah menyala lampu pelita yang dilihat bersama saat itu.

Sehingga persembahan yang tulus berapapun kecilnya akan menghasilkan buah karma yang berlipat ganda. Oleh karena itu Vihara Buddayana Bengkulu, mengambil konsep tersebut dalam memperingati tahun baru cina tahun 2023.

Pelita Puja yang dihadirkan berbentuk Swastika juga berasal dari persembahan umat dan diberikan nama pendana, agar dapat didoakan.

“Kemudian sambal membacakan paritta, Sutra dan Mantra kepada sang Buddha juga Bodhissatva Mahasatva dengan mempersembahkan lampu pelita sebagai lambang penerangan,” demikian Chandra.

Baca Juga
Tinggalkan komen