
Hutan produksi Bukit Sanggul Seluma. Foto, Origa Nusantara
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan 17 Juni sebagai Hari Internasional untuk Mengatasi Degradasi Lahan dan Kekeringan (World Day to Combat Desertification and Drought) pada tahun 1994. Ketetapan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia mengenai lingkungan. Tahun 2025 peringatan ini mengusung tema Restore the land. Unlock the opportunities.
Sayangnya, peringatan ini tidak mengilhami Pemerintah Provinsi Bengkulu. Terbukti dari sejumlah laporan lembaga yang menunjukan adanya degradasi atau penurunan jumlah hutan, bahkan dalam waktu yang relatif singkat.
Analisis citra satelit oleh MapBiomas dan Genesis Bengkulu mencatat bahwa pada tahun 2022, luas tutupan hutan alam termasuk hutan primer dan mangrove di Bengkulu hanya tersisa 768.905 hektare. Angka ini menyusut sekitar 12.882 hektare dihitung sejak tahun 2000. Data lain menunjukkan penurunan yang hampir serupa. KKI Warsi dalam laporannya tahun 2024 menyebut, tutupan hutan di Bengkulu telah turun menjadi 643.961 hektare, atau menyusut 9.461 hektare hanya dalam waktu dua tahun.
Penyusutan ini umumnya berasal dari alih fungsi lahan perkebunan dan pertambangan. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu (2024) menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit rakyat telah mencapai 328.251 hektare. Jika digabung dengan perkebunan milik swasta, total lahan sawit di Bengkulu mencapai lebih dari 426.000 hektare.
Luasan ini setara dengan sekitar 22 persen dari total daratan Provinsi Bengkulu yang mencapai kurang lebih 1,94 juta hektare. Penyebaran perkebunan sawit terbesar berada di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, dan Seluma.
Sementara di sektor pertambangan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Bengkulu tahun 2023 mencatat terdapat 178 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang aktif, dengan 21 di antaranya merupakan IUP operasi produksi untuk batubara. Sejumlah izin ini berada di wilayah hutan produksi, daerah aliran sungai (DAS), dan kawasan resapan air.
Penurunan luasan hutan ini tentu menimbulkan banyak masalah. Teori erosi tanah menyebutkan jika hilangnya tutupan hutan dapat meningkatkan laju erosi karena tanah menjadi lebih rentan terhadap percikan air hujan dan aliran permukaan (surface runoff).
Ketika hutan dibuka, air hujan cenderung mengalir lebih cepat ke sungai, memperpendek waktu konsentrasi dan meningkatkan debit puncak yang sering kali membawa muatan sedimen tinggi. Kondisi ini dapat memperdangkal sungai, mengurangi kapasitas tampung aliran air, dan meningkatkan risiko banjir serta menurunkan kualitas air.
Dampak ini telah dirasa oleh sejumlah daerah di Provinsi Bengkulu. Kualitas air dan tingkat sedimentasi di sungai-sungai Bengkulu disebut kian hari kian memburuk.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mukomuko dalam salah satu artikel mengatakan, Indeks Kualitas Air (IKA) di daerah ini mengalami penurunan. IKA yang sebelumnya berada di angka 48,46 pada 2023 anjlok jadi 37,62 pada 2024.
Kota Bengkulu juga menjadi salah satu daerah yang tidak bisa menghindar. Sedimentasi berat di muara Sungai Air Bengkulu pernah menjadi pemicu banjir yang cukup besar pada tahun 2022.
Selain itu, hutan juga mempengaruhi kondisi hidrologi. BMKG menyebutkan bahwa curah hujan di wilayah Bengkulu, khususnya di Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong, mengalami ketidakteraturan sejak 2021.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!