
Seruan Hari Bumi
Hari Bumi bukan sekadar peringatan simbolik, ia adalah panggilan untuk bertindak. Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, Sumatera berdiri di persimpangan: transisi energi atau perlahan punah di bawah bayang-bayang ketamakan.
Pulau Sumatera, yang dulu dikenal sebagai rumah bagi hutan tropis lebat dan keanekaragaman hayati yang luar biasa, kini terancam oleh ekspansi energi kotor. Salah satu ancaman terbesar adalah sumber energi listrik di Sumatera yang didominasi oleh PLTU batubara, yang tidak hanya merusak lingkungan secara lokal, tetapi juga mempercepat krisis iklim secara global.
Emisi karbon, perusakan ekosistem, konflik lahan, serta dampak kesehatan masyarakat adalah harga mahal yang harus dibayar demi sumber energi yang usianya sudah seharusnya berakhir.
Tema “Sumatera Menolak Punah” yang diangkat pada Hari Bumi adalah bentuk penegasan sikap. Ini adalah seruan untuk melawan kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan hidup, menolak sumber energi yang mengorbankan generasi masa depan, dan memperjuangkan transisi energi bersih, adil, dan berkelanjutan.
Melalui rangkaian kegiatan Hari Bumi 2025 ini, kami dari Koalisi Sumatera Menolak Punah ingin menghadirkan ruang kolaborasi, edukasi, dan mobilisasi aksi yang menempatkan Sumatera sebagai barisan terdepan dalam perlawanan terhadap krisis iklim.
Berdasarkan hasil pemantauan terhadap sembilan PLTU batubara di Sumatera selama dua tahun terakhir — PLTU Nagan Raya Aceh, PLTU Pangkalan Susu Sumut, PLTU Ombilin Sumbar, PLTU Tenayan Raya Riau, PLTU Keban Agung Lahat, PLTU Sumsel 1, PLTU Teluk Sepang Bengkulu, PLTU Semaran Jambi, PLTU Sebalang dan Tarahan Lampung — ditemukan 47 pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup.
Dari total temuan tersebut, 12 di antaranya telah dilaporkan ke penegak hukum di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI. Namun, hal ini tidaklah cukup untuk mempercepat penghentian aktivitas PLTU batubara di Sumatera.
Sementara itu, rezim Prabowo saat ini semakin beringas dan terkesan membabi buta mendukung proyek-proyek batubara. Hilirisasi batubara dalam bentuk gas, dukungan terhadap eksploitasi nikel sebagai media pengganti minyak bumi, dan Danantara yang juga berpotensi mendukung gasifikasi batubara serta industri-industri turunannya adalah bentuk nyata bahwa rezim ini tidak berniat menjadikan Indonesia sebagai contoh baik transisi energi dunia.
Pembiayaan eksploitasi pada sumber daya alam seperti hilirisasi batubara merupakan kebijakan yang kontraproduktif dengan agenda transisi energi yang sedang dilakukan negara Indonesia.
Ali Akbar, Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) yang juga merupakan Ketua Kanopi Hijau Indonesia, menyatakan, “Belum ada pergerakan yang signifikan dari negara untuk menjalankan agenda transisi energi. Yang muncul adalah strategi akal-akalan seperti co-firing, gasifikasi batubara, dan biomassa, yang semuanya bertujuan untuk melanggengkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik di Sumatera.”
Syukur dari Apel Green Aceh menyoroti bahwa pembakaran batubara di PLTU Nagan Raya selama ini telah menghasilkan abu pekat dan debu yang mengganggu kenyamanan serta kesehatan warga yang tinggal di sekitar wilayah operasional pembangkit.
Menurutnya, polusi yang dihasilkan bukan hanya sekadar mengganggu, tapi sudah sampai pada tahap mengancam keselamatan hidup masyarakat. Berdasarkan data, setidaknya 512 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan 174 kasus penyakit kulit diyakini kuat berkaitan dengan polusi udara dari aktivitas PLTU.
“Untuk keselamatan rakyat, maka solusi terbaik cuma satu: pensiun dini PLTU 1C2 Nagan Raya. Pemerintah harus berani ambil langkah tegas demi menyelamatkan lingkungan dan masyarakat,” tutup Syukur.
Wilton Amos Panggabean dari YLBHI – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru mengatakan, “Riau tanpa batubara merupakan langkah tepat mengatasi krisis iklim, karena keberadaan PLTU Tenayan Raya justru menambah derita bagi masyarakat Riau di tengah fenomena cuaca yang ekstrem.
Selain itu, nelayan di Okura juga terdampak karena tidak bisa lagi mengonsumsi air dari Sungai Siak. Tidak adanya komitmen pemerintah untuk menghentikan laju emisi karbon berdampak pada menurunnya kualitas hidup masyarakat Riau, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar PLTU.”
Hardi Yuda dari Lembaga Tiga Beradik Jambi menambahkan bahwa kondisi Provinsi Jambi sangat mengkhawatirkan. Lubang-lubang bekas tambang batubara terbuka lebar tanpa reklamasi — ini adalah kejahatan lingkungan. Dana reklamasi yang seharusnya digunakan untuk pemulihan bekas tambang disalurkan entah ke mana.
Di Kabupaten Muaro Jambi, situs cagar budaya nasional terluas di Asia Tenggara terancam rusak akibat dikepung stockpile batubara. Sedangkan di Desa Semaran, Kabupaten Sarolangun, setiap hari masyarakat dihadapkan dengan polusi udara akibat PLTU Semaran yang dioperasikan PT Permata Prima Elektrindo. Tentunya masih banyak persoalan lainnya yang diakibatkan oleh pertambangan batubara di Provinsi Jambi. Hingga saat ini, dari persoalan tersebut belum terlihat adanya upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi tersebut; hal ini terkesan dibiarkan.
Sumiati Surbakti dari Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara menjelaskan, pengurus negara ini sangat kecanduan dengan batubara, padahal sudah sangat jelas bahwa batubara itu sangat bermasalah dari hulu ke hilir, tapi tetap saja terus dipertahankan tanpa memikirkan penderitaan rakyat.
Sudah banyak yang menjadi korban, baik dari hulu ketika batubara diambil dari perut bumi hingga ketika batubara digunakan. “Wajar jika ada yang mengatakan kalau kita sebenarnya masih belum merdeka, cuma ganti tangan saja,” kata Sumiati yang akrab disapa Mimi.
Sumaindra dari LBH Lampung menambahkan, “Penyediaan energi oleh negara yang dihasilkan melalui energi fosil akan terus menimbulkan persoalan, dan setiap persoalan yang terjadi selalu rakyat yang terus menjadi korban. Energi kotor yang dihasilkan melalui PLTU sejauh ini dari hulu hingga hilir perlu dilihat sebagai upaya yang memperburuk lingkungan dan pelanggengan pelanggaran HAM.
Provinsi Lampung dengan pemenuhan energi listrik melalui PLTU — salah satunya PLTU Sebalang — telah memberikan dampak terhadap masyarakat, yang berakibat pada wilayah tangkap nelayan serta beberapa kasus sebelumnya mengenai akses jalan publik masyarakat.”
Ia menilai stockpile batubara yang menjamur di Lampung — yang diduga ilegal — memberikan dampak kesehatan kepada masyarakat di sekitaran Desa Sukaraja. Masyarakat banyak mengalami ISPA dan penyakit kulit akibat debu batubara yang dihasilkan dari stockpile.
Karena itu, penting mendorong dan memastikan negara untuk melakukan transisi energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan sebagai upaya pemenuhan energi yang partisipatif dan berpihak kepada masyarakat.
Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi, menegaskan bahwa, “Negara telah gagal memenuhi kewajiban dasarnya dalam menjamin hak asasi manusia. Warga di sekitar PLTU, khususnya di PLTU Ombilin dan PLTU Teluk Sirih di Sumatera Barat, dibiarkan tanpa perlindungan, meski hidup dalam bayang-bayang ancaman kesehatan dan keselamatan akibat aktivitas PLTU. Negara membiarkan rakyatnya bertaruh nyawa demi kelangsungan hidup sehari-hari.”
Sahwan dari Yayasan Anak Padi Lahat mengatakan, “Lahat, salah satu daerah penghasil terbesar batubara di Provinsi Sumatera Selatan, jelas sangat berdampak buruk terhadap lingkungan, di mana bentang alam yang sangat indah sekitar Bukit Serelo kini berubah menjadi lubang tambang yang besar. Bukan itu saja, saat musim hujan banjir selalu menghantui — bisa jadi ini dikarenakan menyempit atau mendangkalnya sungai akibat aktivitas pertambangan. Tidak sampai di situ saja, angkutan batubara yang hilir-mudik juga menyebabkan polusi udara yang mengganggu kesehatan. Di Lahat juga terdapat PLTU Keban Agung, dan di sekitar PLTU ini ada petani yang mengaku penghasilannya menurun sejak PLTU ini beroperasi.”
Boni dari Perwakilan Perkumpulan Sumsel Bersih mengatakan bahwa, “Dalam momentum peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2025 ini, pemerintah Sumatera Selatan seharusnya bisa mengambil langkah besar dalam menyelamatkan masyarakat dari bencana alam yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Sepanjang tahun 2024–2025, berbagai daerah di Provinsi Sumsel diterpa bencana alam mulai dari banjir hingga kebakaran hutan. Hal ini disebabkan kerusakan lingkungan.”
Ia menilai percepatan transisi energi yang adil dan berkelanjutan merupakan hal yang penting dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan guna memitigasi kerusakan lingkungan. Maka, seruan stop dan evaluasi pembangunan PLTU batubara baru di Provinsi Sumsel menjadi penting, karena setiap pembangunan PLTU dan tambang akan berbanding lurus dengan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber perekonomian masyarakat.
Sementara saat ini, bauran energi Provinsi Sumsel sebesar 24,14% telah melebihi target bauran energi nasional, dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang terpasang saat ini sebesar 989,12 MW, maka seharusnya Sumsel dalam mewujudkan transisi energi harus berani mengajukan pengurangan PLTU batubara sebesar pembangkit EBT yang telah terpasang.
Arlan dari Perwakilan Koalisi Aksi Penyelamat Lingkungan (KAPL) menyampaikan bahwa, “Sungai Musi sebagai jantung perekonomian masyarakat harus segera diselamatkan dari dampak negatif keberadaan angkutan batubara dan stockpile batubara yang menyebabkan terjadinya pendangkalan dan tercemarnya Sungai Musi.
Di sisi lain, aktivitas angkutan batubara dan tambang batubara di Sumsel sangat meresahkan masyarakat — mulai dari rusaknya lingkungan, hilangnya mata pencaharian masyarakat, dan menurunnya kualitas kesehatan. Maka, layak dituntut untuk cabut izin dan tutup semua stockpile yang ada di sepanjang Sungai Musi serta evaluasi angkutan batubara di perairan Sungai Musi yang selama ini membawa bencana terhadap masyarakat di Provinsi Sumsel.”
Arlan, yang juga Koordinator Aksi “Sumatera Menolak Punah”, meminta kepada Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru, untuk berani memimpin atau menginisiasi percepatan pemensiunan PLTU batubara demi mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Pulau Sumatera, melalui langkah koordinasi dan konsolidasi dengan para gubernur se-Sumatera.
Selain itu, ia mendesak Presiden Prabowo untuk mewujudkan proses pemulihan baik terhadap lingkungan maupun korban yang telah jatuh akibat investasi tambang batubara dan pembangkit energi fosil di Sumatera Selatan secara khusus dan Pulau Sumatera secara keseluruhan, serta segera mempercepat transisi energi untuk menghindari kerusakan yang lebih besar dan menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.
Sampai dengan rilis ini dinaikkan, di 7 PLTU batubara di Sumatera, sebanyak 4.920 jiwa sedang menanggung dampak polusi udara.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!