
BENGKULU TENGAH, bengkulunews.co.id – ”Jangankan gedung..gubuk pun aku tak punya..jangankan permata.. uang pun aku tiada..aku merasa orang termiskin di dunia..yang penuh derita bermandikan airmata..itulah diriku ku katakan padamu..agar engkau tau siapa aku,” ‘
Mungkin sepenggal lirik lagu berjudul ‘Termiskin Didunia” yang dipopulerkan Hamdan ATT ini sama seperti perjalanan hidup, pasangan suami istri (Pasutri), Suardi (55) dan Haniawati (48), warga Desa Pasar Pedati Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah.
Bagaimana tidak? keduanya hidup dalam serba kekurangan. Bahkan mereka tidak memiliki tempat tinggal yang layak untuk dihuni. Terlebih mereka hidup seperti ‘kucing beranak’, yang selalu berpindah-pindah.
Kondisi itu sudah dijalani pasutri ini, sejak dirinya menjalani bahtera rumah tangga, beberapa tahun silam. Tidak hanya itu, mereka pun setiap hari hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup serba berkecukupan.
Lebih menyedihkan lagi, pasutri yang memiliki tiga orang buah hati ini, hanya membangun sebuah gubuk reot berukuran 3×4 meter, yang sewaktu-waktu bisa roboh diterjang angin kencang.
Kondisi itu ditandai dengan bangunan rumah, dengan dinding rumah hanya terbuat dari triplek lusuh bantguan dari warga setempat.
Ditambah, lantai gubuk masih tanah yang dilapisi dengan terpal. Namun, bangunan gubuk pada bagian atap cukup layak, jika dilanda hujan.
Hanya saja, ketika dilanda hujan dengan intesitas sedang hingga lebat, maka dinding yang terbuat dari triplek akan menembus kedalam gubuk.
Dengan ukuran rumah sebesar itu, seluruh harta benda milik mereka terkumpul menjadi satu. Baik itu alas tidur, tempat memasak serta lainnya.
”Rumah ini dibangun diatas lahan pinjaman warga, yang sewaktu-waktu dapat diminta kembali,” kata Haniawati, saat ditemui bengkulunews.co.id, Minggu (4/5/2017).
”Cuma ini yang bisa dibangun, bahannya dikasih orang. Ini juga kita juga mau pindah lagi, yang punya tanah katanya mau bangun sesuatu,” sampai Haniawati, dengan nada sedih.
Dalam kesehariannya, cerita Haniawati, suami tercinta hanya menjadi buruh serabutan atau buruh pembuat cetak batu bata. Dimana, kata dia, penghasilan sang suami hanya Rp20 ribu per hari.
Untuk ketiga orang anaknya, sampai Haniawati, senasib seperti dirinya. Sehingga, kata dia, ketiga anaknya sulit untuk memberikan pertolongan.
”Uang itu hanya bisa mencukupi biaya makan,” pungkas Haniawati.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!