Kristenisasi, Wahabi dan Sistem Agama di Indonesia

Kristenisasi, Wahabi dan Sistem Agama di Indonesia

Agama bersistem di abad sebagaimana sekarang menunjukkan pandangan dari realita yang sulit dihindari. Memilih bebas dengan cara misterius sebagaimana misterius sifat mukjizat, cerminan kesulitan cara sebagai sistem agama. Sistem identik dengan pemikiran manusia yang memiliki konsekuensi realita sebagaimana di atas. Indonesia merupakan potret secara konseptual.

Kristenisasi berkembang dari arah daerah pinggir sebagaimana Wahabi dari dalam atau perkotaan meski secara konseptual melalui pengalaman agama khas pedesaan. Perbedaan pola sekaligus menjadi ciri identifikasi dari ketidakterlibatan keduanya secara central dalam sistem beragama yang telah terkonstruk sedemikian rupa.

Tidak sebagaimana di Barat dan Saudi dalam terminologi negara teokrasi sejarah dan perkembangan dua sistem tersebut, di Indonesia memungkinkan cara yang berbeda. Kemungkinan melahirkan generasi ke arah realitas sesungguhnya berjarak dengan sistem negara.

Pada saat yang sama, kemungkinan cara bahkan usaha sedemikian rupa dapat terdistrek begitu saja dalam pandangan material terutama kekejian.

Hal ini terlihat pada Kristen di Barat, keraguan terhadap beberapa doktrin berpengaruh pada pandangan sistem termasuk beragama. Celakanya, kondisi tersebut dikonseptualisasi sedemikian rupa untuk diaplikasikan sebagai sistem politik-pemerintahan.

Ukuran sistem dalam membingkai agama sebenarnya tidak kalah mengandung konsekuensi besar. Logika positivistik yang berlaku dan diterapkan dalam memahami agama atau produk ilmu (agama) sampai dalam penerapannya memiliki kerapuhan. Kekentaraan kerapuhan sistem ini terlihat jelas pada penerapan di Barat. Keilmuan ‘ala Barat berkonsekuensi pada keyakinan yang dianut masyarakatnya. Terdapat banyak doktrin yang akhirnya bertentangan satu sama lain dalam hukum aturan logika yang sebenarnya dibuat manusia sendiri.

Pada satu kesempatan, penulis sempat membedah paham-paham doktrinal dalam sebuah artikel yang diurai dalam muara agama. Setiap doktrin yang dianut pada akhirnya menunjukkan kelemahannya. Doktrin yang dibentuk pada paham tertentu menuntut alasan bersifat totalitas, baik rasional, instingsional dan segala sesuatunya.

Zaman modern maupun yang disebut postmodern menjadikan manusia berada dalam paradigma modernitas atau posmodernitas. Setiap hal berikut persoalan atau masalah yang dihadapi diidentifikasi pada perspektif yang berlaku di zaman ini. Seperti pola suatu pemikiran tentang sesuatu, akan digali apakah pemikiran tersebut termasuk klasifikasi mana. Contoh suatu ajaran tentang kebaikan, sulit dihindari dari identifikasi terhadap ajaran tersebut apakah misalnya politik, budaya, edukasi dan lain sebagainya.

Jika pada sisi pemikiran sebatas pengetahuan atau disiplin keilmuan cukup sulit dibenarkan, seperti sulit dirasionalisasi, dibuat dalam bentuk logika, serta sebatas diimani saja, bagaimana terbayang, bagaimana jauh larinya kebenaran dalam persepsi (terhadap) agama ketika diterapkan dalam bentuk politik kekuasaan. Korban jiwa bahkan bunuh-bunuhan sebagai sesama anak bangsa dan satu agama yang didasari dan bertujuan tidak jelas.

Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!