Bengkulu News #KitoNian

Kebebasan Berekspresi di Internet dan RUU KKS

Oleh : Sintong Arion Hutapea, S.H, M.H

Sintong Arion Hutapea, SH, MH

MASYARAKAT disuguhkan dengan aksi demonstrasi untuk menolak beberapa rancangan undang-undang (RUU). Fokus terbesar dari demonstrasi adalah mengenai Rancangan Kitab Undangan Hukum Pidana (RKUHP).

Faktanya, selain RKUHP terdapat satu rancangan undang-undang yang dampaknya masif apabila disahkan yaitu Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).

Meskipun akhirnya, RUU ini telah di carry over  oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun masa depan RUU masih akan hadir di dalam Program Legislasi Nasional 2019-2022 (Prolegnas 2019-2022).

Maknanya jelas, masyarakat sebagai pihak yang paling berkepentingan harus memiliki hasrat agar materi RUU yang  memicu kontroversi sebelumnya tidak dipakai kembali. Tulisan ini akan memaparkan materi pokok yang bermasalah di dalam RUU KKS.

RUU ini memberikan kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai  badan yang melaksanakan urusan pemerintahan dalam bidang Keamanan dan Ketahanan Siber.

Salah satu tugas dari BSSN adalah untuk memberikan dukungan penegakan hukum pidana dan perdata.

Dalam melakukan wewenangnya BSSN bisa melakukan penapisan terhadap konten dan aplikasi elektronik yang mengandung muatan perangkat lunak berbahaya untuk mendukung upaya pelindungan terhadap masyarakat pengguna aplikasi elektronik sebagaimana tercantum pada Pasal 38 ayat (1) RUU KKS.

Interpretasi dari kata “penapisan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  adalah memilih yang baik dari yang kurang baik.

Pemikiran awal adalah hebat memiliki suatu badan yang bisa melakukan filter terhadap konten digital. Padahal secara norma hak asasi manusia (HAM) setiap tindakan yang harus proporsional dan sesuai dengan hukum.

Potensi Ancaman Bagi Kebebasan Bereekspresi

Kebebasan berekspresi bagian dari hak sipil yang dijamin oleh International Covenant of Political and Civil Rights (ICCPR). Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia dan menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pada Pasal 19 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa “everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art or through any other media of his choice.” Media lain yang dimaksud untuk mendukung kebebasan berekspresi tentu saja adalah internet.

Kebebasan berekspresi merupakan derogable rights yang mana kebebasan dapat dibatasi. Untuk membatasi suatu hak harus memenuhi syarat didasarkan oleh hukum (provided by law), dilakukan untuk tujuan menghormati hak dari orang lain serta untuk melindungi kemanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan publik atau moral umum.

Sayangnya persyaratan ini tidak dijelaskan secara eksplisit baik di RUU maupun penjelasannya.

Andaikata, kewenangan penyaring yang dimiliki BSSN tentu saja bisa membatasi kebebasan berekspresi melalui internet apabila memenuhi syarat-syarat tersebut.

Akan tetapi, dalam pelaksanaan BSSN juga harus selalu memperhatikan prinsip proporsional (principles proportionality) artinya tindakan BSSN dalam kewenangan melakukan penyaringan terhadap konten digital malah menghilangkan makna dari kebebasan berekspresi itu sendiri.

Dengan kata lain, BSSN memiliki potensi untuk melakukan tindakan yang melebihi kewenangannya sendiri (abuse of power), yang mana digolongkan ke dalam bentuk pelanggaran HAM.

Melindungi Kepentingan Masyarakat

Peran internet tidak bisa dipungkiri pada saat ini. Hampir semua masyarakat di Indonesia termasuk Bengkulu melek teknologi. Internet sudah tidak dipandang menjadi barang mewah dalam mengekpresikan diri baik dalam bentuk visual, audio maupun audio visual sekalipun.

Posisi BSSN yang melakukan penilaian mana konten digital yang baik dan buruk  tanpa adanya standar jelas memicu potensi abuse of power.

Disini, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk melindungi kebebasan bereekspresi yang dimilikinya. Perlu diingat RUU KKS hanya dibatalkan untuk periode 2014-2019. Artinya, periode ke depannya RUU PKS kembali masuk daftar Prolegnas.

[email protected]

Baca Juga
Tinggalkan komen