Bengkulu News #KitoNian

Umbar Nafsu Angkara Murka Lewat Konflik Agraria

Forum Masyarakat Peduli Sebelat (FMPS) menggelar aksi demo di depan Gedung DPRD Provinsi Bengkulu, Selasa (24/01/2023).

Ramadhan belum lagi sempurna memasuki penghujungnya. Namun suasana umbar angkara murka lewat konflik Agraria menjadi catatan kelam ramadhan di Bengkulu tahun ini. Bermula saat PT BRS berencana mengajukan perpanjangan hak guna usaha (HGU) dan menjanjikan kepada warga di 11 desa di Kecamatan Air Napal, Kabupaten Bengkulu Utara untuk alokasi kebun plasma. Namun, janji tersebut tak kunjung ditunaikan hingga terjadi gesekan kuat antara warga dengan perusahaan.

Warga yang merasa ditipu akhirnya mengultimatum PT BRS untuk hengkang dari wilayah desa mereka. Alih-alih ingin menyelesaikan masalah ini, PT BRS justru menunjukkan arogansinya. Muaranya pada tanggal 28 Januari 2023 saat warga menanyakan secara langsung janji plasma ke pihak PT BRS namun dijawab dengan pernyataan bahwa perusahaan sudah mendapat SK perpanjangan dari BPN.

Warga kemudian kecewa dan memutuskan untuk pulang dan berkumpul di titik rumah warga yang tidak jauh dari lahan perusahaan. Saat itulah beberapa orang warga yang merasa dipermainkan tersulut amarah hingga terjadi insiden pembakaran alat transportasi dan pos jaga milik PT BRS.

Saat kejadian, 10 orang warga ditangkap polisi. Sementara dua orang yaitu Supri dan Mustadi ditangkap di jalan saat hendak pulang ke rumah. Sementara Duriman dan rekannya Erik ditangkap di halaman parkir PN Argamakmur pada 20 Februari 2023. Keduanya ditangkap usai memberikan keterangan sebagai saksi korban di PN Argamakmur.

Sebelumnya Puluhan warga dari 11 desa di Kecamatan Air Napal dan Tanjung Agung Palik Kabupaten Bengkulu Utara pernah berdemo di depan Kantor Gubernur Bengkulu menuntut agar izin hak guna usaha (HGU) PT Bima Raya Sawitindo (BRS) di dua kecamatan tersebut tidak lagi diperpanjang dan lahannya dikembalikan kepada masyarakat.

Sebab, izin HGU PT BRS seluas 593 hektare itu telah habis sejak 2018 lalu. Dijelaskannya, PT BRS yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit itu sebelumnya memiliki lahan seluas 3 ribu hektare di Kecamatan Tanjung Agung Palik dan Air Napal. Pada tahun 2019 dilakukan perampingan dengan luasan HGU 593 hektare. Sejak habis masa HGU tahun 2018 lalu hingga tahun 2020, tidak dilakukan perpanjangan.

Di samping itu, sejak beraktivitas PT BRS tidak memberikan lahan seluas 20 persen dari HGU untuk masyarakat. Padahal ketentuan pemberian lahan 20 persen kepada masyarakat telah diatur dalam undang-undang. Kebijakan itu sebagai bentuk kepedulian sosial perusahaan untuk mensejahterakan masyarakat. Kenyataan membuktikan bahwa konflik agraria hampir terjadi di seluruh wilayah di Indonesia, tak terkecuali di Provinsi Bengkulu. Konflik ini mengakibatkan masyarakat terancam kehilangan hak atas tanah dan perkebunannya.

Genesis Bengkulu, Uli Siagian menambahkan, sejatinya potensi konflik agraria di Bengkulu lebih besar dari itu. Data Genesis Bengkulu menyebutkan ada 312 desa yang menjadi titik rawan konflik sebab bertumpang tindih dengan 28 izin usaha pertambangan dan 41 hak guna usaha perkebunan. Tersebar di kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Tengah, Seluma dan Kaur.

Berkaca dari konflik ini, Walhi Bengkulu menegaskan bahwa sudah saatnya negara hadir melindungi masyarakat dan memulihkan haknya yang terancam oleh investasi perkebunan kelapa sawit. Namun nampaknya harapan masyarakat khususnya para petani Bengkulu untuk terbebas dari konflik agraria masih jauh panggang dari api.

Apalagi setelah diterbitkannya UU Omnibus Law Ciptaker, sebuah undang-undang sapu bersih yang memuat banyak pasal kontroversional dalam berbagai bidang termasuk bidang pertanahan atau agraria. Nyata sekali bahwa undang-undang ini banyak berpihak kepada investor bukan bagi rakyat yang berprofesi sebagai petani.

Olan Sahayu, aktivis lingkungan sekaligus manajer kampaye Kanopi Bengkulu turut menyoroti UU Cipta Kerja. Dia mengatakan kehadiran undang-undang ini mengancam hilangnya mata pencaharian 1,1 juta jiwa petani di Bengkulu. Undang-undang ini juga akan semakin memperdalam derita para petani. Dia juga menegaskan Omnibus Law adalah bahaya paling nyata para petani di mana pun. UU ini tak ubahnya sebagai wujud lain dari liberalisasi tanah.

Praktik liberalisasi tanah telah berlangsung dan melahirkan beberapa konflik di berbagai wilayah provinsi Bengkulu. Dia juga menjelaskan tentang masa izin HGU 90 tahun dalam UU Cipta Kerja juga akan terus menerus mengancam kehidupan petani. Ke depan, tanah- tanah produktif petani terus dirampas, petani terlempar dari ruang produksinya dan masuk lebih dalam pada situasi krisis yang multidimensional.

Sungguh UU Omnibus Law Ciptaker ini sarat dengan kepentingan korporasi dan sangat zholim kepada rakyat. Sebelum ada undang-undang ini, aktivitas korporasi dalam bentuk bindustri dan pertambangan sudah sangat massif. Jumlah industri di Provinsi Bengkulu mengolah luas wilayah mencapai mencapai 463.964,54 hektar terbagi dari 72 izin pertambangan dan terdiri dari 59 HGU.

Akibatnya secara tidak langsung telah menambah kemiskinan hampir 50% dari jumlah penduduk Provinsi Bengkulu. Kenapa hal ini bisa terjadi ? Sebab seharusnya ruang kelola masyarakat Bengkulu adalah 1.057.906 hektar. Namun adanya industri, ruang kelola masyarakat Bengkulu hanya tersisi 593.942 Ha.

Hal ini jelas berbeda dalam sistem Islam yang meniscayakan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat atas landasan aqidah yang kokoh. Seorang pemimpin dalam Islam merupakan raa-in (penggembala) sekaligus junnah (pelindung) bagi rakyatnya.

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.). Dorongan keimanan yang kuat, telah membuat pemimpin menerapkan syariat Islam secara keseluruhan tidak terkecuali dalam masalah pertanahan atau agraria.

Betapa pentingnya penyelesaian konflik agraria dalam Islam sehingga berlaku sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan sahabat Sa’id bin Za’id: Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat. (HR. Muslim).

Dan juga beberapa hadist yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa lahan. Ada sebuah hadist dari Hisyam bin Urwah ra, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mengelola tanah kosong (mawat), maka hal tersebut telah menjadi hak kepemilikannya dan tidak ada hak bagi pelaku kezaliman untuk mengambil dan merampasnya.”

Lalu dalam hadist yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Barang siapa yang bercocok tanam pada tanah orang lain tanpa sepengetahuan dan izin mereka, maka pemilik tanah berhak membiayai tanaman itu. Sementara penanam tidak ada hak untuk mendapatkan hasil dari tanaman yang telah diusahakannya.”

Nabi Muhammad saw dalam Kitab Al-Amwal yang ditulis oleh Abu Ubaid, mengemukakan bahwa Ibnu Sirin pernah bercerita jika Rasulullah telah mengkapling tanah untuk kalangan Anshar bernama Sulaith.

Selanjutnya ada hadist yang disampaikan dari Asma’ binti Abu Bakar ra, bahwa Rasulullah saw telah memberikan kapling tanah kepada sahabat Zubair ra di Khaibar lengkap dengan pepohonan dan tanaman kurma.

Selain kepada sahabat dan umatnya yang membutuhkan tanah, Rasulullah saw juga memberikan tanah kepada mereka yang baru memasuki Islam seperti kepada kelompok Bani Hanifah.

Islam juga menyelesaikan masalah kepemilikan umat yang diharamkan untuk dikuasai segelintir orang. Dari Abu Ubaid meriwayatkan hadist dari Hibban bin Zaid asy-Syar’abi ra dari seorang lelaki dari kalangan Muhajirin ia berkata: “aku telah bersahabat dengan Rasulullah selama tiga tahum, kemudian aku dengar dia berkata ‘Seluruh umat manusia mendapatkan hak yang sama di dalam air, padang rumput, dan api.”

Selanjutnya Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang melarang memanfaatkan kelebihan air dari keperluannya dengan tujuan untuk mencegah pemanfaatan padang rumput yang lebih dari kebutuhannya, maka Allah akan melarang dan mencegahnya dari karunia-Nya pada hari kiamat.”

Demikian sistem Islam telah menyelesaikan konflik agraria dengan penyelesaian yang berpihak kepada rakyat. Tentu saja penyelesaian yang paripurna ini hanya bisa tercapai jika dilaksanakan oleh negara yang menerapkan Islam kaaffah dalam semua aspek kehidupan.

Oleh: Indah Kartika Sari, SP
(Kontributor Muslimah Raflesia)

Baca Juga
Tinggalkan komen