Jangan “Mengebiri” Legalitas BPHTB Jangan "Mengebiri" Legalitas BPHTB Terbit : Januari 20, 2022 - Penulis : Alwin Feraro - Kategori : Kolom Pembaca, Opini BENGKULU – Kalangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), beserta masyarakat dan stake holder terkait di bidang pertanahan, khususnya di Kota Bengkulu, menyambut baik dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU HKPD), yang telah ditandatangani oleh Presiden RI, Joko Widodo pada tanggal 05 Januari 2022 silam. Berlakunya Undang – Undang HKPD ini sangat penting sebagai sebuah regulasi yang mengatur suatu sistem penyelenggaraan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait hak dan kewajiban masing – masing yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel dan selaras berdasarkan Undang – Undang, sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat 1 dari UU HKPD. Lebih jauh lagi dengan diberlakukannya UU HPKD akan berdampak positif terhadap kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat dalam pemungutan pajak/retribusi yang dilakukan oleh Pemerintah daerah serta akan berdampak baik terhadap iklim investasi di daerah. Termasuk kedepan akan terjadi harmonisasi peraturan daerah beserta peraturan kepala daerah dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, dalam hal terkait dengan regulasi pemungutan pajak/retribusi di daerah. Salah satu ketentuan yang di atur dalam UU HKPD adalah mengenai kewenangan pemungutan pajak Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan ( selanjutnya disebut BPHTB ) oleh pemerintah Daerah Kota/Kabupaten, yang mana BPHTB ini merupakan pajak yang muncul dari terjadinya peristiwa atau perbuatan hukum yang berakibat diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi/badan hukum. Dalam UU HKPD, ketentuan tentang BPHTB di atur dari Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 atau di atur secara terperinci dalam 6 (enam) Pasal yang saling berkaitan. Seperti diketahui, bahwa objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan yang disebabkan karena : jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukkan dalam perseroan atau badan hukum lain, termasuk pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah. Sedangan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan baru terjadi karena kelanjutan dari pelepasan hak dan dapat terjadi di luar pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan. Adapun macam macam jenis hak atas tanah dan/atau bangunan yang merupakan objek dari terjadinya pemindahan atau pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan baru ini adalah berupa : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan; Sangat jelas diatur dalam ketentuan Pasal 46 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf a, b dan c UU HPKD, bahwa dasar dari pengenaan BPHTB adalah merupakan Nilai Perolehan Objek Pajak (selanjutnya disebut NPOP), adapun NPOP yang dimaksud dalam UU HKPD ini dapat terjadi karena adanya pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan atau pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan baru, yang ditetapkan sebagai berikut : NPOP dari jual Beli dan lelang adalah harga transaksi. Biasanya secara administrasi dan nilainya harga transaksi ini untuk jual beli secara resmi tercatat dalam akta jual beli yang dibuat para pihak yaitu penjual dan pembeli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan terkait harga transaksi ini juga tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukkan pembeli dalam lelang; Sedangkan pemindahan dan pemberian hak atas tanah dan / atau bangunan lainnya di luar jual beli dan lelang ditetapkan berdasarkan Nilai Pasar. Seperti tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, dan sebagainya. Dalam hal NPOP yang tidak diketahui atau lebih rendah daripada NIlai Jual Objek Pajak (selanjutnya disebut NJOP) maka dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan (selanjutnya disebut PBB) pada tahun terjadinya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. UU HKPD ini juga menentukan Besarnya NPOP tidak kena pajak yang ditetapkan nilainya paling sedikit sebesar Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta Rupiah) untuk perolehan hak pertama wajib pajak dalam wilayah dimana daerah tempat terhutangnya BPHTB. Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Ayat (2) UU HPKD, yang hak pewarisannya diterima oleh orang pribadi yang masih dalam status hubungan keluarga sedarah dalam jenjang garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris , termasuk dalam hal ini suami/istri, maka NPOP tidak kena pajaknya ditetapkan paling sedikit sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Terkecuali untuk hal – hal tertentu, atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tertentu karena hibah wasiat dan waris tertentu, maka dalam hal ini pemerintah daerah dapat menetapkan NPOP tidak kena pajaknya sejumlah yang lebih tinggi daripada NPOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Ayat (2) UU HPKD. Mengenai besaran tarif/biaya NPOP yang tidak kena pajak ini, selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 46 Ayat (8) UU HKPD. UU HPKD ini juga mengatur mengenai saat terhutang nya pajak BPHTB, yang dalam UU ini telah ditetapkan sebagai berikut : Pertama pada saat tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk perbuatan hukum jual beli. Kedua pada saat tanggal di buat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak atas tanah dan/ atau bangunan, seperti perbuatan hukum jual beli, tukar – menukar, hibah, dan sebagainya. Ketiga pada saat tanggal penerima waris/kuasanya mendaftarkan peralihan hak nya ke kantor pertanahan. Keempat, pada saat tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap berdasarkan putusan hakim. Kelima, pada saat tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan baru sebagai kelanjutan dari terjadinya perbuatan hukum pelepasan hak . Terakhir, Pasal 47 Ayat 1 dan Ayat 2 UU HKPD di atur juga ketentuan mengenai besaran tarif/biaya pajak BPHTB yang ditetapkan paling tinggi sebesar 5 % (lima prosen) yang besaran pajak nya wajib ditetapkan dengan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut Perda), yaitu suatu Peraturan perundang – undangan yang di bentuk/disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik di tingkat Provinsi/Kota /Kabupaten dengan persetujuan bersama dari Kepala Daerah yaitu Gubernur/Wali Kota/Bupati. Berdasarkan UU HKPD Pemungutan pajak BPHTB ini merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah Kota / Kabupaten, maka pengaturannya hanya diamanahkan berdasarkan Perda Kota/Perda Kabupaten. Jadi menjadi jelas, secara legalitasnya bahwa segala sesuatunya tentang pemungutan pajak BPHTB bukan ditetapkan dan diatur berdasarkan suatu Peraturan Walikota (Perwal) / Peraturan Bupati (Perbup). Kedepannya, apabila hal ini terjadi, artinya pengaturan dan besaran pajak BPHTB “ngotot” diatur oleh kepala daerah berdasarkan Perwal/Perbup, maka patut kita duga terdapat indikasi bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk penyalahgunaan kewenangan kepala daerah atau lebih tepatnya telah terjadi “Pengebirian” Oleh kepala daerah terhadap legalitas BPHTB, padahal sudah sangat jelas ketentuannya bahwa pelaksanaan mengenai pemungutan pajak BPHTB ini telah diatur dengan baik dalam UU Nomor 01 Tahun 2022 Tentang HPKD. Atau lebih jauh lagi, ada dugaan pengingkaran terhadap fungsi dan kewenangan dariDPRD Kota/Kabupaten dalam pembentukan/penyusunan suatu Perda, sebagaimana ketentuannya diatur dalam Pasal 149 Undang – Undang No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana telah dirubah berkali – kali, terakhir dirubah dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Kedepan, terhadap terjadinya Keterlanjuran berlakunya Perwal/Perbup yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, terutama yang berhubungan dengan kewenangan pengaturan dan besaran pajak BPHTB, maka dalam upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan, mencegah terjadinya ketidakadilan dan penghambatan investasi, maka sudah sewajarnya dalam kapasitasnya sebagai Kepala Daerah Gubernur memiliki hak untuk menggunakan kewenangannya membatalkan Perwal/Perbub tersebut, sebagaimana kewenangan Gubernur ini telah diatur dalam Pasal 251 Ayat (2) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah dirubah berkali – kali, terakhir dirubah dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang menyebut : “Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi , kepentingan umum dan/kesusilaan (dapat) dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Hal ini juga sinkron dengan Pasal 143 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015, yang menyebutkan : “Bahwa pembatalan Peraturan Bupati/Walikota (dapat) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Kita semua berharap pada masa yang akan datang, tidak ada lagi peraturan kepala daerah, baik dalam bentuk Peraturan Wali Kota/Peraturan Bupati yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Karena pada prinsipnya Kepala Daerah yang baik adalah Kepala Daerah yang mampu membangun daerahnya tanpa harus “mengebiri” peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apapun alasannya. Meski demi untuk alasan pembangunan atau peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan harus senantiasa diutamakan dalam pengambilan kebijakan daerah. Sudah menjadi tugas dan kewajiban siapapun yang menjadi Kepala Daerah untuk senantiasa kreatif memunculkan ide- ide cerdas menciptakan kebijakan yang berdaya hasil sebagai upaya meningkatkan PAD untuk kesejahteraan masyarakat tanpa harus melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian, semoga bermanfaat. Penulis adalah Ketua Pengda Kota Bengkulu Ikatan Notaris Indonesia dan PLH Ketua Pengda Kota Bengkulu Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Nama * Email * Komentar * Kirim Komentar Δ Revolusi Digital: Mengapa Film Internet Menjadi Pilihan Utama pada Generasi Z Menggali Peran Komunikasi Massa dalam Era Informasi Digital Media Massa: Beradaptasi dan Berjaya di Era Digital Citizen Journalism Menjadi Ancaman bagi Wartawan di Era Media Digital? Orang Lembak Pimpin Bengkulu, Pantaskah? Ketua KPU Ajari Parpol Mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 Revolusi Digital: Mengapa Film Internet Menjadi Pilihan Utama pada Generasi Z Menggali Peran Komunikasi Massa dalam Era Informasi Digital Media Massa: Beradaptasi dan Berjaya di Era Digital Citizen Journalism Menjadi Ancaman bagi Wartawan di Era Media Digital? Orang Lembak Pimpin Bengkulu, Pantaskah? Ketua KPU Ajari Parpol Mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024