Logo

Hidup Miskin, Pria Tunarungu Ini hanya Makan Sayur-Mayur

Penyaluran bantuan

BENGKULU TENGAH, bengkulunews.co.id – Lamja warga Desa Kembang Seri Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah, satu dari sekian masyarakat Provinsi Bengkulu, kurang mampu dan jauh dari kata megah.

Pria tunarungu ini hanya tinggal disebuah gubuk yang bisa dikatagorikan reot, dan tak layak untuk dihuni. Ditambah sejumlah atap yang terbuat dari seng digubuk miliknya itu mulai terlihat berkarat dan sewaktu akan bocor ketika dilanda hujan.

Tidak hanya itu, gubuk yang berukuran sekira 3×4 meter itu, hanya dilapisi dengan dinding papan yang mulai dimakan rayap. Dimana bangunan itu pun hanya berlantai tanah.

Lebih menyedihkan lagi, tidak ada penerangan ketika malam tiba didalam ‘Istana’ yang telah didiami sekira empat tahun lalu oleh pria 28 tahun itu.

Bahkan, didalam gubuk reot itu hanya ada beberapa perlengkapan memasak seadanya dan kasur lusuh, untuk dijadikan alas saat beristirahat tidur malam.

Meskipun hidup kurang dari cukup, pria 28 tahun itu tetap bersemangat untuk menyambung hidup memenuhi kebutuhannya sendiri, dengan berjualan sayur mayur yang ia tanam di halaman rumahnya.

Dari penjualan sayur-mayur itu, dirinya setiap hari berpenghasilan tidak menentu. Bahkan, penghasilannya pun hanya sebesar Rp10 ribu per hari.

Namun, jika penjualannya tidak laku dirinya terpaksa berpuasa beberapa hari. Bahkan, hanya memakan sayur-mayur yang ia tanam di halaman rumahnya dan menunggu belas kasihan dari tetangga atau masyarakat setempat.

Kordinator komunitas sahabat Bengkulu, Dede Zovan mengatakan, seluruh kebutuhan bangunan rumah yang didiami Lamja, dibantu oleh masyarakat setempat.

Selain itu, kata dia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dirinya hanya mengandalkan hasil jualan sayur mayur. Hanya saja, kata dia, penghasilannya itu hanya berkisar Rp10 ribu.

”Dia (Lamja) bangun rumahnya sendiri, bahan dan lahannya diberikan oleh warga desa,” kata Dede Zovan, Kamis (25/5/2017).

Dede bercerita, sebelum hidup sebatang kara, Lamja sempat menjalani batera rumah tangga bersama istrinya. Sementara, keluarga Lamja sendiri berada di Kabupaten Kepahiang.

Sayangnya, setelah beberapa tahun menjalani batera rumah tangga, istri tercinta Lamja meninggal dunia. Sehingga dirinya mesti hidup seorang diri digubuk tersebut.

”Sejak saat itu, Lamja tidak pernah mengunjungi ataupun dikunjungi oleh keluarganya,” ujar Dede.

Lebih menyedihkan lagi, terang Dede, permintaan Lamja untuk membuat kartu tanda penduduk (KTP) di desa setempat diabaikan. Sehingga dirinya sama sekali tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.

”Lamja sulit berkomunikasi, tapi sepengetahuan saya dia tidak punya KTP. Jadi, Lamja tidak pernah dapat bantuan dari pemerintah,” demikian Dede.