Bengkulu News #KitoNian

Sejumlah Nama Pahlawan Asal Bengkulu, Salah Satunya Kakek Seorang Artis

Pahlawan Bengkulu

BENGKULU – Peringatan Hari Pahlawan 10 November dibuat untuk mengingat pertempuran Surabaya yang terjadi pada 1945. Peristiwa tersebut diawali insiden perobekan Bendera Merah Putih Biru di atas Hotel Yamato pada 19 September 1945.

Pertempuran ini dimulai saat tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang bersama dengan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Tugas mereka adalah melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negaranya, membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, sekaligus mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai negara jajahan.

Pada 27 Oktober 1945, perwakilan Indonesia berunding dengan pihak Belanda dan berakhir meruncing, karena Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan tersebut.

Kemudian pada 29 Oktober, pihak Indonesia dan Inggris sepakat menandatangani gencatan senjata. Namun keesokan harinya, terjadi bentrok yang menyebabkan Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris, tewas tertembak.

Pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Robert Mansergh lalu mengeluarkan ultimatum yang meminta semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata harus melapor serta meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan.

Robert Mansergh juga meminta orang Indonesia menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas dengan batas ultimatum pada pukul 06.00, 10 November 1945.Ultimatum tersebut membuat rakyat Surabaya marah hingga terjadi pertempuran 10 November.

Perang antar kedua kubu berlangsung sekitar tiga minggu. Tokoh perjuangan yang menggerakkan rakyat Surabaya antara lain Sutomo, K.H. Hasyim Asyari, dan Wahab Hasbullah.

Saat itu rakyat Surabaya bersama para pejuang bertempur melawan tentara Inggris. Pada pertempuran tersebut, jumlah kekuatan tentara sekutu sekitar 15.000 pasukan.

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 itu ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres Soekarno Nomor 316 tahun 1959 pada 16 Desember 1959.

Pahlawan Asal Bengkulu

Sejumlah nama juga mengisi daftar kepahlawan di Bengkulu. Meski tidak terlibat dalam peristiwa 10 November, nama-nama ini disebut turut memperjuangkan kemerdekaan NKRI.

1. Fatmawati

Fatmawati tentu saja menempati urutan pertama dalam daftar pahlawan asal Bengkulu. Ibu dari Megawati Soekarno Putri ini terlibat langsung dalam upaya percepatan kemerdekaan RI.

Fatmawati yang namanya kini diabadikan sebagai nama bandara di Bengkulu ini berperan sebagai penjahit bendera merah putih pertama yang dikibarkan saat Proklamasi kemerdekaan RI.

Fatmawati lahir dari orangtua yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, Hasan Din (1905–1974) dan Siti Chadijah, dengan nama Fatimah.

Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ayahnya merupakan salah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.[4]

Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno saat presiden pertama RI itu diasing di Bengkulu. Istri ketiga Bung Karno ini menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967.

2. Ir. Indera Tjaja

Nama Ir. Indera Tjaja menjadi salah satu nama yang diusulkan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah sebagai pahlawan nasional. Namanya bersanding dengan nama lain seperti AM. Hanafi dan Abdul Rifa’i.

Ir. Indera Tjaja merupakan Residen Bengkulu yang diangkat pada 3 Oktober 1945. Sehari setelah dia diangkat barulah bendera Merah Putih untuk pertama kali dikibarkan di Kota Bengkulu, yaitu pada 4 Oktober 1945.

Nama Indra Tjahja saat ini diabadikan menjadi salah satu nama jalan protokol, tepatnya di Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu.

3. AM. Hanafi

Sama seperti Ir. Indera Tjahja, nama AM Hanafi juga masuk ke dalam daftar usulan pahlawan nasional di Provinsi Bengkulu oleh Gubernur Rohidin Mersyah.

Pada dekade awal kemerdekaan Indonesia, A.M Hanafi ditunjuk Presiden Soekarno menjabat sebagai Menteri Urusan Tenaga Rakyat periode 1957 hingga 1960.

Hanafi menyematkan AM di nama depannya yang merupakan kepanjangan dari ‘Anak Marhaen’ sebagai wujud kekagumannya kepada Bung Karno.

Pada 1963 hingga 1965 menjadi Duta Besar RI untuk Kuba. Lalu, A.M Hanafi yang lahir di Bengkulu pada 1918 menetap di Paris, Prancis dan meninggal di negara itu pada 2 Maret 2004 dalam usia 85 tahun

4. Abdul Rifa’i

Dokter Abdul Rivai merupakan salah satu tokoh dari Mukomuko, Provinsi Bengkulu yang terkenal di Indonesia dan Eropa. Ia dilahirkan di Mukomuko 13 Agustus 1871

Pada tahun 1871-1879 Dokter Abdul Rivai tinggal di Mukomuko, kemudian tahun 1879 pindah ke Tanjung Ampalu Bukittinggi karena orang tuanya guru Sekolah Desa disana.

Tahun 1880 Dokter Abdul Rivai menjadi siswa Sekolah Desa karena Hollandsch Inlandsche School (HIS) belum ada. Baru didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914

Ia merupakan orang Indonesia pertama yang menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu dari luar negeri (Eropa), juga pribumi Indonesia pertama yang meraih gelar doktor.

Rivai dianugerahi gelar sebagai Perintis Pers Indonesia pada tahun 1974 oleh Pemerintah Indonesia.

5. Prof. Dr. H Abdullah Siddik, SH

Prof. Dr. H. Abdullah Siddik, SH, pada masa kanak-kanaknya hidup di Kota Curup, Kabupaten Rejang Lebong. Dia merupakan putra dari pasangan H. Muhammad Saleh dan Mastifa.

Ketika menginjak usia remaja, Prof. Dr. Abdullah Siddik, SH melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Hukum Rechtshogeschool di Batavia (Jakarta).

Saat menjadi mahasiswa, kakek kandung Ashanty ini aktif diberbagai organisasi kepemudaan, di antaranya pada tahun 1934 diangkat sebagai salah satu Ketua Komite di Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) bersama almarhum Haji Agus Salim.

Semasa hidupnya, Prof. Dr. H. Abdullah Siddik, SH kerap mendampingi presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.

Dia mendampingi Ir. Soekarno sejak masa pengasingannya di Bengkulu pada tahun 1938-1942, hingga Ir. Soekarno diberi amanah sebagai seorang Presiden pertama Republik Indonesia.

6. Prof. Dr. Hazairin

Prof. Dr. Hazairin adalah Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Hazairin lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 28 November 1906 dari pasangan Zakaria Bahri (Bengkulu) dan Aminah (Minangkabau).

Hazairin dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang guru dan kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Dari kedua orang tersebut, Hazairin mendapat dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.

Hazairin kecil mengawali pendidikannya di Bengkulu di sebuah sekolah bernama Hollands Inlandsche School (HIS) tamat tahun 1920. Dari HIS ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tamat tahun 1924.

Ia termasuk Residen Bengkulu yang ikut bergerilya bersama kelurganya dan menjadi salah satu pemimpin pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk melawan Agresi Militer II oleh Belanda pada tahun 1948.

7. Abdur Rahim Damrah

Abdur Rahim Damrah atau yang dikenal dengan Rahim Damrah merupakan tokoh pejuang asal Bengkulu Selatan. Ia terlibat langsung dalam perlawanan terhadapan penjajahan Jepang di Bengkulu.

Pada tanggal 1 Juli 1946, Abdur Rahim Damrah mengikuti tes menjadi anggota Inteligence Serive pada Kementerian Pertahanan bagian Pendidikan A dengan Pangkat Letnan Satu.

Mulai dari tahun 1946 sampai 1949, ia terlibat dalam berbagai pertempuran dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari Penjajah Belanda.

Ia dianugerahi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia berupa Bintang Pahlawan Gerilya, Bintang Perang Kemerdekaan I, Bintang Perang Kemerdekaan II.

Pada tahun 1950-an, Abdur Rahim Damrah diberikan kepercayaan oleh Negara Republik Indonesia sebagai Ketua Legium Veteran Republik Indonesia Wilayah Bengkulu Selatan.

Dari berbagai sumber

Baca Juga
Tinggalkan komen