Bengkulu News #KitoNian

Ratusan Kasus Kekerasan Seksual di Bengkulu Belum Gunakan UU TPKS

BENGKULU – Yayasan PUPA (Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk Perempuan dan Anak) bersama PKBHB, UPTD PPA Kota, LKSA Aisyiyah dan UPTD Provinsi Bengkulu mengadakan Konferensi Pers dalam memperingati kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Dengan tajuk “Mengawal Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Untuk Pemenuhan Hak Korban kekerasan dan Perlindungan Pendamping!”.

Pada konferensi pers kali ini Direktur PUPA (Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk Perempuan dan Anak) Bengkulu, Susi Handayani menuturkan bahwa PUPA selaku anggota dari Forum Pengada Layanan (FPL) untuk Perempuan korban kekerasan di Indonesia, melaksanakan advokasi lahirnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 9 Mei 2022.

“Nah sejak saat itu pula undang-undang ini menjadi pedoman dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual mulai dari proses pelaporan, penyidikan, penuntutan hingga pengadilan,” kata Susi pada Bengkulunews.co.id Kamis (07/12/2023) siang.

Namun sayangnya 130 kasus kekerasan seksual baik KTP dan KTA sepanjang 2023 di Bengkulu, belum menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dikarenakan bagi anak sudah memiliki Undang-undang Perlindungan Anak, sehingga dirasa cukup melindungi hak korban.

“Jadi untuk kasus kekerasan seksual anak di Polda Bengkulu selalu, berpedoman dengan Pasal 23 UU TPKS yang berbunyi Perkara   Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian   di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” jelasnya.

Sehingga dalam pemenuhan hak-hak korban pada undang-undang TPKS hak restitusi belum sama sekali dilakukan. Begitu juga untuk korban dewasa, pada kasus pemerkosaan, KSBE tidak menggunakan UU TPKS. Hal tersebut dikarenakan adanya petunjuk teknis dalam penerapannya, juga APH yang belum mengetahui bahwa UU TPKS sudah disahkan.

“Tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan semangat awal penyusunan UU TPKS yaitu menjamin akses keadilan bagi Korban. Nah hal ini dikarenakan masih banyak dari APH yang belum mengetahui adanya UU TPKS, apalagi memahami substansi UU TPKS,” tambah Susi.

Belum lagi lembaga layanan berbasis masyarakat yang terlibat dalam proses pembahasan peraturan pelaksana UU TPKS sesuai dengan Pasal 85 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 tentang keterlibatan masyarakat dalam Pencegahan, Pendampingan, Pemulihan dan Pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai saat ini belum menemukan bentuk pola dan dukungannya.

Keterbatasan tersebut disebabkan Lembaga layanan masyarakat yang saat ini banyak mengalami keterbatasan dari sisi pendanaan operasional Lembaga.  Serta pendamping korban kekerasan sebagai perempuan pembela HAM (PPHAM) dalam melakukan pendampingan juga minim akan perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi dan sosialnya.

Oleh karena itu ada delapan Aspirasi Kunci yang dapat memperkuat UPTD PPA sebagai penyelenggara pelayanan terpadu yang inklusif. Diantaranya :

  1. Tahapan
  2. Prinsip Layanan
  3. Kualifikasi
  4. Inklusifitas
  5. Fungsi UPTD
  6. Alokasi Anggaran
  7. Pengawasan secara Internal
  8. Mekanisme komplain

“Sehingga adanya penguatan UPTD PPA inilah yang menjadi mutlak untuk menjamin terpenuhi hak korban dan pendamping korban,” tegasnya.

Baca Juga
Tinggalkan komen