Logo

Idealisme dan Buyanisme

PENGAKUAN ke akuan acapkali terlontar dari muncung (Ungkapan) seseorang. Apakah ke akuan itu bagian dari keangkuhan atau taklid belaka, itu persoalan lain.

Pada kenyataannya ke akuan itu ada dan terada. Ada karena vested of interest seseorang atau kelompok. Ironisnya, seseorang itu mulai berhalusinasi, berkhayal kalau dirinya ‘malaikat’ bukan sebagai seorang mahluk sosial.

Seseorang yang dimaksud itu menyebut dan tersebut dirinya seorang idealis. Orang itu mulai binggung saat ditanya, apa landasan isme yang anda miliki? Saya tidak mau begini, tidak mau begitu karena itu tidak baik, tidak boleh atau itu melanggar etika, norma atau kaedah. Itu prinsip saya.

Apa yang diutarakan diatas itu hak. Siapun bisa berkehendak. hanya saja penulis ingin mengatakan ada perbedaan tipis antara idealis dan buyan (Kebodoh). Ada realistisme, rasionalitas di dalam idialisme itu.

Salah satu yang krusial dalam idialisme seseorang itu adalah vested of interest, kepentingan. Realistis sajalah, kalau hidup ini penuh kepentingan.

Seseorang dan orang lain punyai hak kenikmatan, untuk saat ini atau masa depan. Jadi bagaimana kita ingin mengatakan kalau kita ini Sang Idealis, kalau paham yang kita punya itu sesuai dengan kemampuan akal kita saja, belum tentu teruji serta punya visi.

Apakah dengan idealisme yang dipegang teguh sebagai komitmen hidup dalam bertindak dan bersikap harus dipertahankan dalam berbagai situasi dan kondisi? Rasanya hanya jawaban klise saja yang kita peroleh nantinya.

Bila kita mau realistis, komitmen itu dapat dicampakan, pupus bila ada kepentingan perut yang mendesak. Saat perut sudah berteriak minta tolong dan tak ada pertolongan, maka tembok tebal yang kita tahu tak mungkin hancur kita tabrak, maka kita akan coba tabrak.

Pertanyaannya, apa, kapan dan bagaimana idealisme itu dapat digunakan, dan bagaimana dengan sikap realistis?

Jangan sampai seperti kata pepatah, “Berburu ke padang datar dapat rusa belang kaki. Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi” atau pepatah lama Bengkulu, “Rumah kecik idak bepagar, rumah gedang idak bepagu. Masih kecik idak belajar, la gedang idak pulo beguru”.

Realistis merupakan sikap yang adil terhadap hak. Disini banyak kajian, hitungan yang harus kita lakukan. Sehingga idealisme yang cenderung taklid tadi tidak mensia-siakan perjalanan hidup ini.

Karena kita hidup di dunia nyata, bukan dunia khayal. Kita hidup, bukan mimpi dalam hidup. Sudah banyak korban idealisme tersia-siakan karena tidak realistis, sehingga disebut buyanisme.

(Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati sejarah Bengkulu)

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di media kupasbengkulu.com