Bengkulu News #KitoNian

Etika dan Akhlak dalam Komunikasi Politik

Oleh : Sabil Arrosyad Erdysta

Ilustrasi. sintesa

BENGKULU – Istilah etika mungkin saja sering kita dengar dalam pergaulan sehari-hari, apalagi di Indonesia. Seorang anak bila mengatakan kata ‘gue’ kepada orang tua, guru, atau siapapun yang lebih tua umurnya dan dihormati dianggap tidak beretika. Di dunia barat hal ini memang tidak berlaku seperti dalam bahasa Inggris kita berbicara kepada orang tua dengan kata ‘I’ dan ‘you’, penggunaan kata ‘gue’ di etnis Betawi mungkin biasa saja mengucapkannya kepada orang lebih tua karena memang kebiasaan budayanya. Begitu pula bila di dunia politik ada pejabat negara yang mengadakan pertemuan dengan pengusaha secara informal (illegal) dan membahas masalah urusan yang berkaitan kepentingan negara tidak sesuai jalurnya bisa juga dikatakan tidak ber-etika politik. Ternyata masalah etika bisa dikatakan masalah pantas atau tidak pantas atau sesuatu itu dilakukan bisa jadi karena melanggar suatu norma-norma budaya, adat istiadat, norma hukum atau suatu suatu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat.

Etika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan tentang manusia. Etika berasal dari dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang artinya kebiasaan. Etika membicarakan tentang kebiasaan (perbuatan), tetapi bukan menurut arti tataadat, melainkan tata-adab, yaitu berdasarkan pada inti atau sifat dasar manusia; baik-buruk. Jadi dengan demikian etika adalah teori tentang perbuatan manusia.ditimbang menurut baik-buruknya. Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan, tidak berdiri sendiri. Sebagai ilmu yang membahas tentang manusia, ia berhubungan dengan seluruh ilmu tentang manusia. Ia bersangkut paut dengan Antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, hukum dan juga komunikasi. Namun, perbedaannya terletak pada sudut pandangnya (point of view), yaitu baik-buruk. Dalam bahasa percakapan, orang sangat biasa menggunakan kata “baik” sebagai lawan kata “buruk” dalam berbagai hal, m

Istilah etika dalam Islam disinonimkan dengan perkataan akhlak dalam bentuk jamak khuluq yang berarti adab atau batas antara baik dan buruk, terpuji dan tercela. Akhlak secara istilah adalah sistem nilai yang megatur pola sikap dan tindakan manusia diatas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berfikirnya.

Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mengartikan akhlak yaitu:

“Khuluk (akhlak) ialah haihat atau sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang dengan musuh dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”

Memperhatikan beberapa uraian diatas, bisa dipahami jika sering terjadi penyamaan arti antara etika dengan etiket, maupun etika dengan moral dan akhlak. Karena antara keempat istilah tersebut meskipun mempunyai perbedaan arti yang cukup mendasar akan tetapi keempat istilah tersebut sama-sama menjadikan “baik dan buruk” perbuatan manusia sebagai obyeknya. Pengertianpengertian yang telah dijabarkan diatas adalah bersifat teori dan hikmah. Masalah etika atau akhlak bisa dikatakan misi penting dan utama berdasarkan ucapan nabi Muhammad Saw:

“Sesungguhnya aku diutus, (tiada lain, kecuali) supaya menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Hadits ini menunjukkan bahwa tugas dan misi kerasulan adalah menyempurnakan akhlak. Artinya akhlak memang menjadi risalah diutusnya Nabi Muhammad saw, selaku khotamul anbiya’ wal mursalin; penutup para nabi dan rasul. Menyempurnakan akhlak bisa dikatakan menjadi megaproject yang yang menjadi pertaruhan dari segala perjuangan beliau di dunia. Tentu berbicara akhlak haruslah dimulai dari diri sendiri seperti yang telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah. Akhlak tidak muncul seketika ada proses dalam pembentukannya. Maka menyempurnakan akhlak, tentu saja merupakan tugas berat. Dalam mengemban tugas ini tidak serta merta hanya dengan memerintahkan atau dengan memberi arahan atau himbauan, tapi harus dengan memberikan contoh atau suri tauladan. Akhlak baik perlu ditunjukkan kepada orang lain sehingga menjadi sebuah pesan yang akan ditiru atau menjadi rujukan. Akhlak memang merupakan satu-satunya ukuran dan menjadi garis pemisah; antara mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak baik. Artinya, prilaku manusia disebut berkualitas, jika prilaku tersebut disertai dengan akhlak yang baik, sebaliknya jika suatu perbuatan tidak dibarengi dengan akhlak, maka perbuatan itu merupakan perbuatan yang hina dan tidak berkualitas, baik menurut manusia apalagi dimata Tuhan Pencipta alam semesta.

menurut manusia apalagi dimata Tuhan Pencipta alam semesta. Di tengah-tengah masyarakat kita, istilah akhlak kadang-kadang disebut dengan istilah adab. Maka dari itu orang yang baik akhlaknya, biasanya disebut orang yang beradab, sebaliknya orang yang buruk prilakunya, disebut tidak beradab. Selain istilah adab ini, istilah sopan santun juga sering kita temui. Jika ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup rukun, giat bekerja dengan caracara yang baik, masyarakat yang demikian ini lalu disebut dengan masyarakat yang santun atau yang mempunyai sopan santun (civil society). Secara sederhana bisa kita pahami, bahwa akhlak yang baik, setidaknya harus mengandung dua hal; pertama harus baik niat dan tujuannya, dan kedua harus baik dan benar prosesnya, sehingga output-nya adalah sesuatu yang baik dan benar pula agar bermanfaat bagi sesama. Dua hal inilah yang menjadi ukuran baik atau tidaknya akhlak seseorang.

Ketidaktahuan atau kekaburan terhadap dua hal ini, menyebabkan kita menjadi salah dalam memahami apa maksud dengan akhlak ini. Misalnya, ingin menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau madrasah, semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: bermain judi, mencuri, korupsi, menipu, dan sebagainya, tentu semua ini tidak bisa disebut perbuatan yang baik atau berakhlak. Ini adalah sebuah contoh dari suatu perbuatan yang tujuannya baik, tetapi cara atau prosesnya salah. Sekali lagi, yang demikian ini, tidak bisa disebut perbuatan yang berakhlak. Contoh yang lain, misalnya, orang yang selalu giat bekerja, selalu jujur, tidak pernah mencuri, tetapi jika tujuan bekerja ini ternyata tidak baik, misalnya:

untuk pesta miras, pesta narkoba dan lainnya, jelas semua ini juga salah dan tidak bisa disebut berakhlak. Begitulah, tujuan dan proses, keduanya menjadi kriteria akhlak kita, sekaligus sebagai ukuran kualitas usaha kita. Sebagaimana Nabi telah menjelaskannya:

“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan bagi setiap amal manusia tergantung pada apa yang diniatkan.”

Berdasarkan hadits ini, menata tujuan sebelum berbuat merupakan hal yang penting. Karena kualitas amal-usaha kita sangat tergantung dengan apa yang kita niatkan atau tergantung dengan tujuan kita. Dengan kata lain, tujuan merupakan ukuran berakhlak atau tidaknya seseorang, malah menjadi ukuran diterima atau/tidak amal kita. Mengerjakan shalat misalnya, membayar zakat atau pergi haji, jelas ini baik, tetapi jika dikerjakan dengan tujuan pamer, kepingin dipuji orang, hal ini namanya riya’ dan riya’ termasuk perbuatan syirik, meski namanya syirik khofi. Maka dari itu perbuatan yang demikian ini, tidak hanya jelek menurut manusia, tetapi juga menjadikan amal kita tidak diterima, malah menjadi berdosa. Sebagaimana telah kita sampaikan di atas, bahwa tujuan baik saja, masih belum cukup, tetapi juga harus melalui proses dan cara-cara yang baik juga. Karena kualitas amal kita juga sangat tergantung dengan prosesnya sebagaimana Firman Allah:

Qs An-Najm, 53/39 yang artinya :

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.

Qs Al-Imran, 3/25 yang artinya :

“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan)”.

Ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan mendapatkan balasan dari apa yang mereka usahakan di dunia. Akan berbeda antara orang yang menggunakan cara-cara yang halal, dengan orang yang menggunakan cara-cara yang haram, hasilnya adalah merupakan balasan bagi perbuatan masing-masing. Demikian juga cara-cara yang sportif dan jujur, tentu tidak sama dengan perbuatan yang penuh dengan tipu muslihat.

Pemahaman etika dan akhlak adalah masalah yang sangat penting untuk dikaji, terlebih di era sekarang dimana dunia politik praktis kerap terjadi perbuatan atau tindakan yang mempertontonkan konflik kepentingan diantara kubu-kubu yang berseberangan dalam orientasinya di dunia politik. Masingmasing merasa benar atau melakukan pembenaran, peristiwa ini akhirnya menjadi tontonan oleh rakyat di mana persoalan mana yang benar dan mana yang salah, telah kabur atau dikaburkan. Maling berteriak maling, orang yang biasa korupsi malah bicara paling keras akan berantas korupsi. Hampir semua lembaga negara sudah ada perwakilannya dari pejabat tinggi yang menjadi tersangka kasus korupsi. Pada zaman seperti ini, kita terkadang kesulitan membedakan mana orang yang berakhlak dan mana orang yang sejatinya merusak akhlak. Jika memang demikian keadaannya, berarti kita sekarang hidup di tengah-tengah bangsa yang jauh dari akhlak. Peraturan dan Undang-undang dibuat, tidak untuk dijalankan, tetapi kadang untuk disiasati demi kepentingan politik tertentu.

Kerusakan akhlak atau krisis etika, memang sudah sedemikian parah di negeri ini. Perbuatan yang menunjukkan akhlak atau etika yang rendah sudah semakin berani tampil ke muka publik, sehingga bisa dikatakan urat malunya sudah putus. Mulai dari tindakan korupsi para pejabat yang tidak habis-habisnya karena selalu saja muncul kasus baru, perbuatan asusila yang merajalela apalagi yang kalau yang melalukan adalah publik figur. Suap-menyuap sudah terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif mulai dari kalangan rakyat biasa sampai pejabat tinggi di negeri ini. Dengan ukuran akhlak, kita juga tidak akan bisa dipaksa-paksa, meski dalam keadaan terdesak. Bagi kita, sudah jelas bahwa akhlak menuntut adanya sikap atau perbuatan yang baik dalam hal ini, yaitu tujuan dan prosesnya. Tujuan baik harus diwujudkan dengan cara-cara yang baik, begitu juga cara-cara yang baik harus dengan tujuan yang baik.

Kita semua sudah tentu mendambakan masyarakat kita ini menjadi masyarakat yang berakhlak, mendambakan menjadi bangsa yang santun dan beradab. Masyarakat dan bangsa yang demikian ini, jelas tidak mungkin dibangun dengan cara-cara yang tidak baik, karena semata-mata kepentingan hawa nafsu kekuasaan yang penuh dengan tipu muslihat dan ketidakjujuran. Jika hal ini semakin menjadi di bumi khususnya di negeri kita yang tercinta ini, maka bisa diprediksi bagaimana nasib bangsa dimasa depan. Berdasarkan Kalam Ilahi bumi ini hanya diwariskan kepada orang yang berprilaku baik atau sholeh, seperti yang dikatakan dalam Kalam Illahi, Qs Al-Anbiya, 21/105 yangmana artinya :

“Telah Kami tulis di kitab Zabur setelah Kami tulis pada laukh Makhfud, bahwa bumi ini hanya diwariskan kepada hamba-Ku yang sholeh”.

Bumi akan selamat, sejahtera dan damai dengan tegaknya keadilan di seluruh negeri bila karakteristik orang sholeh tersebut yang berkuasa di bumi ini. Adapun karakter sosok penguasa yang sholeh sesuai petunjuk Kalam Ilahi adalah sebagai berikut dalam Qs Ali Imran, 3/114 yang mana artinya :

“Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh”.

Orang yang shaleh adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari penghabisan, dasarnya adalah keimanan yang karena keyakinannya kepada Tuhan membuat segala aktivitasnya berdasarkan pantauan Tuhan walalupun dia tidak melihatnya secara indrawi, sehingga niatpun sudah tertuju karena sebuah pengabdian kepada Tuhan. Lalu meyakini hari akhir bisa menjadi kontrol diri dalam melaksanakan aktivitas di dunia, bahwa apapun, dimanapun kita beraktivitas pasti ada akhirnya, ada waktu penghabisannya, sehingga waktu yang diberikan harus bermanfaat, efektif dan efesien dalam beribadah. Jangan sampai lupa diri hanya melakukan niat sampai tindakan jahat dan akhirnya justru kehabisan waktu sedangkan jalannya sudah menyimpang dari jalan yang lurus sehingga menjadi penyesalan yang tidak berguna. Tujuan hidupnya adalah menyuruh kepada kebaikan (ma’ruf) dan otomatis harus dapat mencegah dari sesuatu yang buruk (munkar) serta selalu bersegera dalam mengerjakan berbagai kebajikan. Dengan ukuran keshalihan tersebut pastilah terwujud sebuah tatanan hidup yang harmonis, aman, penuh dengan keselamatan, kedamaian dan pastinya tegaknya keadilan di dunia.

Sabil Arrosyad Erdysta
Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Bengkulu

Referensi

Achmad, Mudlor. (tanpa tahun). Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-ikhlas.

Al-Ghazali, Imam. 1995. Ringkasan Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pustaka Amani.

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

Nurdin, Muslim [et al.]. 1995. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV. Alfabeta.

Langeveld, M.J. 1959. Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.

Umary, Barnawie. 1993. Materia Akhlak. Solo: Ramadhani.

 

 

Baca Juga
Tinggalkan komen