Logo

Teknologi Biogas Atasi Limbah Makanan

SEJATINYA, tiap makhluk hidup dibekali naluri untuk mempertahankan nyawanya. Baik itu hewan, tumbuhan, atau bahkan manusia, ketiganya senantiasa berupaya menjaga kekokohan jasadnya. Pasokan makanan sangat dibutuhkan oleh mereka, sebab untuk keberlangsungan metabolisme tubuh. Tak ayal jika kita yakini, bahwasanya makanan menjadi penting kedudukannya dalam kehidupan ini.

Perhatikanlah secara seksama, bagaimana kondisi masyarakat di saat makanan menjadi “hal yang mewah” bagi mereka. Sebut saja Chad, negara yang dihadapi krisis pangan yang kian menggurita. Masyarakatnya sudah kadung kekurangan gizi kronis. Urutan selanjutnya ada Yaman, negara pasar pasir yang tidak bisa melepas diri dari pusaran konflik. Perang saudara yang tidak berkesudahan mengakibatkan krisis pangan. Dikabarkan 18 juta orang menghadapi kelaparan dan 8 juta orang berisiko kelaparan.

Maka dari itu, makanan menjadi suatu hal yang penting bagi negara. Sebab, banyak sekali sektor negara yang dipertaruhkan dari keberadaan makanan. Mulai dari sektor kesehatan, sektor pangan, sektor keamanan negara, sektor ekonomi, hingga sektor politik. Jikalau makanan bisa memenuhi atau bahkan berlimpah jumlahnya, tak diragukan lagi, negara bakal mengalami kemajuan yang pesat.

Kendati demikian, kita tidak dapat memungkiri bahwa makanan menjadi pedang bermata dua. Karena semakin banyak makanan yang dikonsumsi, semakin banyak pula limbah makanan yang dihasilkan. Dan kedua aspek tersebut proporsional dengan penduduk, terutama di Indonesia, yang selalu mengalami pertumbuhan 1,1% tiap tahunnya. Bonus demografi ini bisa saja sewaktu-waktu menjadi bom waktu atas limbah makanan.

Pasalnya, Indonesia sendiri menempati posisi kedua sebagai produsen limbah makanan terbesar di dunia, per tahun 2018. Mengingat budaya orang-orang Indonesia yang kerap kali membuang sisa makanan yang tidak habis, maka ini bukan hal yang mustahil. Selain itu, distribusi bahan makanan sampai proses pengolahan, turut mehasilkan limbah makanan yang banyak.

Kemudian akan muncul masalah-masalah baru. Perubahan iklim, misalnya, turut disebabkan oleh efek gas rumah kaca. Limbah makanan, mengandung gas metana, yang ternyata jauh lebih berbahaya dari CO2. Sejumlah 164 juta ton metana yang dilepaskan ke atmosfer tiap tahunnya, dikabarkan dapat merusak lapisan ozon. Ini tentu menjadi berita yang sangat buruk bagi keamanan iklim.

Berangkat dari hal inilah, kemudian biogas memegang peranan penting dalam manajemen limbah makanan. Biogas dihasilkan dari penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri dalam kondisi kedap udara. Bahan organik seperti limbah makanan, mengandung gas metana yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Nantinya, gas metana tersebut akan terbawa sampai ke proses biogas, sehingga bisa dilepaskan ke atmosfer dan tidak menambah jumlah karbon di atmosfer.

Limbah dari biogas pun tidak kalah manfaatnya. Katanya, limbah biogas berupa kotoran ternak yang kadung kehilangan gasnya (slurry), bisa digunakan sebagai pupuk organik. Pupuk ini memiliki kekayaan unsur-unsur yang diperlukan oleh tanaman.

Namun di Indonesia sendiri, realisasi biogas masih jauh dari ekspektasi. Terdapat berbagai masalah dalam penerapan teknologi biogas. Pertama, keberlanjutan teknologi biogas di suatu daerah. Ketika pemerintah lokal membiarkan masyarakat untuk mandiri dalam memakai biogas, belum tentu masyarakatnya siap. Alhasil, biogas dibiarkan begitu saja. Biaya pengoperasian masih berjalan dan semakin membengkak.

Kedua, kultur masyarakat yang masih kuat terhadap biogas. Persepsi bahwa biogas kotoran ternak “tidak higienis” menempel kuat di tubuh masyarakat, yang mengakibatkan mereka enggan untuk memeluk biogas.

Ketiga, kurangnya dukungan pemerintahan terhadap teknologi biogas. Alih-alih mencoba mandiri energi atau bahkan menggunakan energi terbarukan, pemerintah masih mengimpor minyak dalam jumlah yang sangat besar. APBN juga dialokasikan ke infrastruktur migas secara berlebihan. Sebagai akibatnya, pembiayaan teknologi energi terbarukan terhambat. Investasi kurang, dukungan bank terhadap pembangunan teknologi ini lebih minim lagi.

Oleh karena itu, apabila Indonesia sebagai salah satu negara dengan limbah makanan terbanyak ingin mengatasi permasalahannya, maka ia harus siap membangun teknologi biogas. Teknologi ini kalau bisa diterapkan ke lini masyarakat yang memerlukan, terutama masyarakat yang tinggal di pedalaman (karena mereka lebih kesusahan dalam mengakses segala apapun). Sudah seyogyanya pemerintah mendukung penuh penerapan teknologi biogas, dengan memberikan support politik, ekonomi, hukum, sosial-budaya, dan lingkungan.(***)

Penulis adalah mahasiswi S1 Teknik Fisika UGM