Bengkulu #KitoNian

Sejak Kapan Stereotip Gender Itu Muncul?

Foto, Dok.BN

Perempuan itu harus lembut, penurut dan anggun. Ini adalah salah satu dari stereotip terhadap kaum perempuan. Stereotip ini bahkan menjadi bias saat perempuan dengan segala atributnya dianggap hanya pantas mengenakan rok dan bekerja di rumah.

Sejak kapan atribut-atribut itu disematkan untuk perempuan? jawabannya sederhana saat kita berbicara dengan para aktivis yang memperjuangkan keadilan gender, mereka akan berkata konstruksi sosial. Namun jika pertanyaanya ditambah, sejak kapan konstruksi sosial itu muncul? jawabannya bisa sedikit panjang.

Ada yang membaginya menjadi dua sebab, Nature dan Nurture. Sebab alamiah dan latar belakang budaya dianggap berperan penting dalam bangunan ketidak setaraan gender. Sayangnya, sebab alamiah dalam kajian kesetaraan gender sedikit dilewatkan karena dianggap tidak relevan.

Sisanya hanya bangunan yang dilatarkabelakangi pendidikan, budaya dan perilaku patriarki atau mereka menyebutnya nurture. Mereka yang memegang teori nurture beranggapan bahwa adanya perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan kebanyakan disebabkan oleh konstruksi sosial.

Tapi jawaban ini rasanya tak cukup. Jika kita mau mengakuinya, jawaban ini tidak ubahnya dengan menjawab asal kehidupan adalah dari molekul organik yang terbawa meteorit dan jatuh di permukaan Bumi. Soal darimana benih kehidupan itu muncul, masih misteri.

Begitu juga sebab awal dari stereotip gender itu muncul. Jika kita sebut dari konstruksi sosial, itu berarti streotip itu sudah ada di sana, menular dan berkembang melalui budaya dan sosial. Asalnya entah darimana.

Ajaran-ajaran agama tidak jarang juga diposisikan sebagai biang keladi munculnya perbedaan. Kita tahu, meski banyak diantara ajaran itu menspesialkan perempuan, ada juga yang malah menjadi bumerang dengan perempuan ditetapkan sebagai objek.

Hindu dan Budha sejak 1500 tahun lalu menempatkan posisi perempuan sebagai sosok terhormat. Meski konteksnya pemujaan terhadap perempuan, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tetap ketara. Setara tapi berbeda. Begitupun pada agama-agama samawi dengan cerita Hawa yang tercipta dari sekedar tulang rusuk.

Peran perempuan

Sejak akhir abad ke-18, protes terhadap ketidak adilan gender telah dimulai. Mary Wollstonecraft dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebuah karya yang mencoba merintis kritik terhadap peranan laki-laki yang terlalu dominan. Jauh sebelum itu, telah ada seorang filsuf perempuan, Christine de Pizan (1364-1430) dengan tulisannya The Book of the City of Ladies.

Memang betul, sejarah dunia didominasi oleh laki-laki, tapi bukan tidak ada perempuan yang menyeruak di sana. Ada banyak nama yang bisa disebut, dari Hypatia hingga Hildegard von Bingen. Dalam sejarah, perempuan-perempuan juga berhasil mencomot sebagian profesi yang dulunya diklaim hanya milik laki-laki bahkan menjadi firaun dan pemimpin kerajaan. Hasilnya pun sama.

Kajian tentang perempuan sesungguhnya telah dimulai sejak lama. Filsuf kondang Yunani kuno, Plato (427 SM – 347 SM) disebut baik dalam memandang perempuan. Dalam dualisme materi dan idenya, Plato memandang perempuan memiliki akal sehat yang sama dengan laki-laki. Dengan akal sehat orang-orang bisa menjadi seorang filsuf.

Selama hidup, Plato merumuskan konsep negara ideal. Negara dalam impian Plato adalah negara yang dipimpin oleh seorang filsuf. Ini memberi arti jika manusia dengan akal sehat yang sama dapat menjadi filsuf maka baik laki-laki maupun perempuan dapat mempunyai kedudukan yang sama dalam sebuah negara. Ini sangat emansipatif.

Kemuliaan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam teori Plato ini bertabrakan dengan muridnya sendiri, Aristoteles. Guru dari raja tersohor Macedonia ini justru menganggap perempuan hanya sebagai ladang.

Aristoteles melihat perempuan dari sisi biologis dan seksual. Teori keturunan miliknya melihat perempuan sebagai “lahan” dalam proses penyemaian reproduksi karena pria sifatnya lebih aktif sedangkan perempuan pasif. Lebih parah, ia menyebut perempuan sebagai laki-laki yang tidak jadi atau belum lengkap.

Jika Eropa setelah Helenistik didominasi oleh Aristoteles, maka sudah jelas asal muasal bangunan dari perbedaan gender tersebut. Peran perempuan akan selalu dinomor duakan. Yang pasti sang filsuf tidak memulainya dari Nurture.

Perempuan dan Kodrat

Hal yang sudah umum diketahui bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda secara fisik. Organ-organ perempuan dirancang oleh alam sebagai pembeda. Perempuan setidaknya harus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.

Agak awam misalnya jika kita sebut perempuan itu tugasnya hanya mengasuh anak karena kodrat mereka menyusui. Atau mereka hanya boleh di rumah karena gangguan menstruasi, hamil dan melahirkan. Tapi rasanya tidak salah juga jika itu kita letakkan sebagai salah satu sebab diantara sebab lain yang mengawali konstruksi gender.

Bisa jadi hal ini yang memicu terbentuknya budaya dengan memisahkan peran antara laki-laki dan perempuan. Sebab, jika budaya dalam arti sederhana adalah cara hidup, maka alasan ini akan berlaku sama di setiap belahan dunia. Seperti yang terjadi saat ini.

Ini bisa diamini dengan pertanyaan kenapa teori Plato tidak menjadi dasar dari budaya Eropa terhadap perempuan meski ada akuluturasi dengan teologi kristen abad pertengahan. Jika jawabannya karena kalah dominan dengan ajaran agama, maka kemungkinan faktor budaya terhadap gender tadi akan berbeda di wilayah Asia dan Afrika.

Kenyataannya, perempuan tetap saja menjadi nomor dua meskipun hidup dari hasil berpikir dan legitimasi yang berbeda. Perempuan dalam satu komponen terbentuknya budaya dan sosial terlihat berlaku sama di manapun letaknya. Perempuan adalah makhluk yang terganggu oleh kodratnya.

Perempuan menjadi lebih kurang beruntung karena jalannya sistem kehidupan terlanjur didesain untuk laki-laki. Dengan sebab-sebab alamiah, perempuan dengan tugas dasar yang sama dengan laki-laki dianggap tidak terlalu produktif untuk memenuhi kebutuhan hewani manusia. Kemungkinan inilah alasan purba lahirnya pebedaan gender.

Legitimasi dan Norma

Hirarki Abraham Maslow menempatkan lima kebutuhan yang ingin dicapai oleh manusia. Ini berlaku sama, laki-laki atau perempuan. Pada level pertama, Fisiologis, gangguan produktifitas perempuan ‘sebagi subjek’ sudah mulai terlihat karena beban kodratinya. Sebagai individu dan subjek, perempuan tidak efektif.

Namun pada level-level berikutnya, rasa aman, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri, perempuan tidak memiliki gangguan. Perempuan bisa menjadi sama hebatnya dengan laki-laki. Lihat saja Joan of Arc (1412-1431) atau pejuang perempuan Indonesia, Laksamana Malahayati.

Persoalannya adalah norma. Konsep pernikahan yang seharusnya mulia menjadikan posisi perempuan semakin terpuruk. Perempuan dengan tugas biologisnya menyusui memberi peluang baru untuk melegitimasi peranan laki-laki.

Tidak berbeda dengan aturan di jenis apapun yang semakin lama semakin kaku. Seperti pada kasus nenek Minah yang harus duduk sebagai seorang terdakwa pencuri tiga buah kakao di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.

Perempuan yang sebelumnya hanya terganggu secara kodrati, kini mewujud menjadi norma baru yang mengharuskan perempuan ‘secara kaku’ untuk menjadi lemah. Tidak hanya sebagai istri, tapi menular sebagai individu.

Perbedaan yang dilegitimasi norma ini semakin terasa saat cara hidup manusia berkembang. Jika sebelumnya, perempuan dan laki-laki bercocok tanam atau berburu untuk memenuhi kehidupan dasarnya, ketidakadilan jadi lebih kasar saat cara-cara baru untuk hidup, muncul.

Cara-cara baru yang perlahan berkembang ini malah menjadi besar-besaran saat Revolusi Industri di abad ke 17. Sejumlah bidang yang tidak ada hubungannya dengan perbedaan biologis perempuan dan laki-laki kadung mengikuti aturan tak tertulis bahwa perempuan itu tidak layak.

Pada akhirnya, cara alamiah yang memuliakan perempuan saat hanya mengalami gangguan kodrati justru menjadi paradok dengan mereduksi perenan perempuan untuk memperoleh hak yang setara dengan laki-laki.

Baca Juga
Tinggalkan komen