Logo

Analisis Kritis RUU KUHP Pasal 480 dalam Perspektif Sosial, Kultural, Historis

TERJADINYA perubahan kondisi sosial masyarakat secara cepat akhir-akhir ini, menyebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat dengan permasalahannya yang kritis. Kontak peradaban tradisional dengan peradaban Barat tumbuh semakin akrab semenjak abad ke-19.

Selanjutnya, perkembangan pemikiran ini ditentukan oleh pengaruh-pengaruh baru yang kemudian mempengaruhi, menghadapkan pada situasi yang berbeda.

Pembaharuan pemikiran atau pemahaman selanjutnya diterjemahkan dalam pola tindakan atau pola perubahan sikap dan tingkah laku masyarakat yang selanjutnya menuntut ke arah suatu perubahaan sosial.

Keinginan untuk memikirkan dan mencari jalan keluar dari ketimpangan struktural, memberikan alternatif berbagai aspek kehidupan masyarakat meliputi berbagai dimensi keadilan secara luas seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia. Salah satu perwujudan keadilan yang diinginkan adalah keinginan untuk profesi di ranah publik.

Ketimpangan dan ketidaksejajaran kekuasaan antara laki-laki dan perempuan pada ranah publik, melahirkan tuntutan pembagian peran sosial yang sama dan adil terhadap perempuan.

Kondisi sosio-kultural ini dianggap sebagai faktor penghambat perempuan untuk eksis. Budaya patriarki yang dianggap sebagai tata nilai lama, mulai diragukan kemampuannya untuk menjawab kompleksnya masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakat dalam perubahan sosial. Tema kesetaraan, keadilan, dan persamaan gender, emansipasi wanita menjadi isu yang berkembang dan sakral.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan melalui kebijakan Zero Tolerance Policy yg tidak memberikan toleransi terhadap kekerasan pada perempuan, di dalam keluarga, dalam masyarakat maupun tindak kekerasan oleh negara. Kebijakan yang merupakan bagian dari penghapusan diskriminasi, yang menjadikan keselamatan dan keamanan perempuan sebagai prioritas.

Hal ini diwujudkan dengan meratifikasi berbagai konvensi yang memuat hak dan kewajiban berdasarkan atas persamaan dengan laki-laki dan mendesak negara mengambil langkah-langkah untuk melaksanakannya. Perlakuan salah dan ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan dikoreksi dengan keinginan untuk melakukan pembaharuan sistem peradilan, sehingga terjadinya perombakan dan modifikasi hukum.

Di dalam masyarakat kita terdapat beberapa norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan norma hukum. Dari beberapa norma ini, norma hukumlah yang lebih memiliki sanksi pemaksa yang mengikat. Pada awalnya berfungsi sebagai alat untuk balas dendam, lalu berubah menjadi alat pelindung bagi masyarakat, kemudian menjadi alat pendidikan atau pembinaan bagi pelaku kejahatan.

Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian dalam kehidupan bersama, berarti keserasian, ketertiban, ketentraman atau keserasian keterikatan dengan kebebasan, untuk mencapai kesebandingan kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk menjamin ditaatinya norma karena merupakan alat pemaksa tertinggi. Maka, sistem peradilan pidana menjadi pilihan yang diyakini efektif dalam menindak, mencegah dan merespons perlakuan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Untuk dapat menjadi alat mobilisasi, terutama pada kekerasan dalam rumah tangga, agar keadilan bagi kaum perempuan dapat tercipta.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka dilakukannya modifikasi hukum terhadap UU PKDRT No.23 Tahun 2004 yang sebelumnya telah berhasil dikukuhkan. Untuk memperjuangkan dan memenangkan pendapat ini, policy yang telah dibuat sebelumnya harus diperkuat. Melalui segala penggabungan, partai, kekuasaan dan hak yurisdiksi yang dimiliki oleh DPR Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP kembali diajukan beberapa pasal untuk dapat disahkan menjadi Undang-undang.

Diantara yang terdapat di dalam Pasal 480 ayat 1 yg berbunyi, tiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Suatu peristiwa yang pada masa lalu tidak ditempatkan sebagai salah satu Legal Sosial Problem, dan tidak termasuk dalam perbuatan yang diatur oleh aturan pidana.

Dengan definisi di atas, maka bisa saja seorang suami memperkosa istrinya. Dengan syarat yaitu si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan.

Perubahan pendekatan dalam kontek “kasus” ini lebih cenderung formalitas atau tekstual. Akan merubah cara pandang atau persepsi dan mempengaruhi peranan nilai-nilai yang telah ada pada masyarakat. Benturan pemahaman dalam persepsi tentang karier akan mengakibatkan timbulnya persaingan, yang akan memunculkan keretakan hubungan antara suami dan istri, menjadi pemicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga bahkan perceraian. Pada akhirnya menimbulkan penyimpangan dan masalah sosial yang baru dalam masyarakat.

Bukankah dalam sanksi pidana bertujuan untuk menjamin terpeliharanya ketertiban masyarakat, kepentingan umum.

Apakah benar kehadiran negara di dalam rumah tangga bertujuan untuk menjaga keutuhan, kerukunan rumah tangga atau malah sebaliknya?

Kekerasan seksual di dalam rumah tangga memiliki sifat khusus, yg terletak pada hubungan antara pelaku dan korban (suami istri). Apakah korban tidak akan menjadi korban baru berkepanjangan dengan dipidanakannya pelaku yang notabene adalah pasangannya?

Sanksi pidana memiliki dua sisi makna, memberikan perlindungan pada masyarakat dan di sisi lain untuk memberikan penderitaan pada pelanggar yang juga merupakan anggota masyarakat.

Artinya, sanksi pidana ini akan menjadi penjamin bila digunakan secara tepat, cermat dan manusiawi, dan akan menjadi pengancam apabila digunakan sewenang-wenang, secara paksa dan sembarangan. Pemidanaan tidak hanya akan dirasakan pada saat dijalani oleh pelaku, tetapi akan dirasakan seumur hidup. Penderitaan bukan hanya penderitaan fisik semata, tetapi dapat juga penderitaan psikis, ekonomi, sosial.

Jadi dalam hal ini, apakah korban akan dapat terpuaskan dengan penderitaan pelaku dengan pemidanaannya?

Pemidanaan akan melahirkan korban yang baru, yaitu korban penyalahgunaan kekuasaan.

Apakah korban (istri) tidak memiliki pengaruh terjadinya peristiwa, baik secara langsung maupun tidak langsung?

Apakah korban tidak akan menjadi korban baru berkepanjangan dengan dipidanakannya pelaku yang notabene adalah pasangannya?

Dan jika dalam pernikahan pasangan suami istri memiliki anak, maka tentulah anak akan ikut menjadi korban.

Kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga ini memiliki sifat khusus, yg terletak pada hubungan antara pelaku dan korban (suami istri).

Masalahnya kemudian adalah, proses modernitas dan modernisasi yang kita tempuh dalam hal ini tidak bertolak dari akar budaya kita sendiri.

Isi dan makna dari sistem hukum berdasarkan model budaya Barat menjadi jeratan struktur yang membawa kita kepada kemunduran. Sikap dan cara pandang masyarakat cenderung berubah pada materialisme, positivisme, saintisme.

Kita harus melakukan otokritik dan menyusun orientasi kita sendiri yang terlanjur melihat kearah yang salah.
Caranya adalah dengan mengambil alih pengalaman sejarah negara-negara maju tersebut untuk kita jadikan pengalaman kita sendiri untuk kemajuan masyarakat kita di masa mendatang.

Pemisahan antara agama dan negara telah menyebabkan nilai-nilai agama dalam mekanisme negara bahkan menimbulkan perceraian antara etika, hukum dan politik. Keberagamaan selama ini menjadi identitas budaya yang kuat dan terikat erat dalam sistem sosial politik, ekonomi tidak lagi menjadi sumber moral masyarakat.

Piranti hukum melalui RUU KUHP ini akan memaksa doktrin syariah menyesuaikan diri dengan keadaan kehidupan modern. Prinsip-prinsip syariah yang di kompilasi kan sebagai alat pembentukan hukum perkawinan saat ini telah terkikis secara besar-besaran (signifikan), mengikis citra iman.

Padahal nilai-nilai tersebut telah dituangkan juga dalam bentuk Undang-undang no.1 tahun 1974 yang selama ini menjadi tempat syariah yang aman dan kokoh.

Bukankah sebuah perkawinan adalah ikatan lahir batin suami dan istri berdasarkan hukum agama masing-masing, bukan berdasarkan perjanjian hukum?

Menjadi tanggung jawab individu kepada Tuhan yang maha esa dalam menjalani kehidupan rumah tangga sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Seharusnya kepentingan masyarakat yang lebih luas yang harus diterjaga dan terlindungi oleh negara. Negara tidak perlu hadir di dalam persoalan yang sangat pribadi dalam urusan setiap warga negaranya.(**)

Penulis adalah alumni Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu