Logo

Sebab Perjanjian Batal Demi Hukum

Dalam melakukan suatu kegiatan usaha dan ekonomi atau guna kepentingan hukum lainnya, maka suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara tertulis pada prinsip nya merupakan suatu dokumen penting yang dipergunakan untuk mengatur suatu hubungan kerjasama antara mereka yang terlibat secara langsung dalam suatu perjanjian yang dapat mendatangkan keuntungan atau bahkan dapat berdampak kerugian.Suatu perjanjian biasa nya di susun oleh para pihak bertujuan selain untuk mengikat kesepakatan diantara mereka guna menghindari terjadinya wanprestasi atau ingkar janji salah satu pihak, juga berguna untuk mencegah dan menghindari terjadinya permasalahan pada saat pelaksanaan perjanjian, atau bahkan setelah selesainya perjanjian, baik bentuk permasalahan tersebut berupa admistrasi, keuangan, operasional dan dalam hal pelaksanaan lainnya, bahkan dapat berupa gugatan dari pihak – pihak dalam perjanjian itu sendiri atau pun orang lain yang berada di luar perjanjian ;

Mengenai pengaturan yang berlaku terkait hukum perjanjian di Indonesia ketentuannya di atur dalam Pasal 1338 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( – selanjutnya disebut KUH Perdata – ), yang menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang – Undang bagi mereka yang membuat nya, tentunya harus didasari suatu persyaratan yang sah. Adapun mengenai syarat sahnya suatu perjanjian dapat dilihat juga pengaturannya dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan, bahwa, sahnya suatu perjanjian wajib terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:
< Pertama adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya ;
< Kedua, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan , dan ;
< Ketiga suatu hal tertentu, dan ;
< Keempat suatu sebab ( causa ) yang halal ;

Seperti kita ketahui bersama dalam hukum kebiasaan di Indonesia, perjanjian dapat di buat secara di bawah tangan oleh masyarakat berdasarkan kehendak dan konsep masing – masing pihak,namun selama hal tersebut tidak bertentangan dengan syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan yang terdapat pada Pasal 1320 KUH Perdata, pembuatan suatu perjanjian dibawah tangan dapat di akui sebagai suatu perjanjian yang legal juga. Meskipun suatu perjanjian yang dibuat di bawah tangan banyak di pergunakan oleh masyarakat, karena alasan kepentingan untuk lebih mengkedepankan perlindungan & kepastian hukum terhadap suatu perjanjian yang di buat oleh masyarakat, maka suatu Perjanjian dapat di buat secara ” Autentik” dihadapan Notaris, sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), keduanya merupakan pejabat yang berdasarkan peraturan perundang – undangan di beri kewenangan oleh pemerintah untuk membuatkan akta akta yang sifat nya autentik, baik perjanjian yang bersifat umum, maupun perjanjian yang berupa perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah ( jual beli, hibah , waris dan wasiat pada Hak Milik Atas Tanah, dan macam – macam hak atas tanah lainnya , seperti Hak Guna Usaha ,Hak Pengelolaan, Hak Sewa ,Hak Guna Bangunan ) ;

Meskipun demikian, ada suatu pengecualian dalam hukum Perjanjian yang berlaku di Indonesia, bahwa apapun bentuk dan jenis perjanjiannya, meskipun sudah di buat dihadapan Notaris atau PPAT yang bersifat Akta Autentik, atau juga sudah di buat berdasarkan kesepakatan di bawah tangan oleh para pihak saja tanpa melibatkan Notaris & PPAT, maka secara yuridis dapat dinyatakan ” BATAL DEMI HUKUM ” tanpa harus dimintakan pembatalannya berdasarkan pengesahan atau putusan dari hakim pada lembaga Peradilan. Atau Perjanjian tersebut dianggap BATAL atau TIDAK PERNAH ADA SAMA SEKALI ;

Selanjutnya, bagaimana cara nya kita dapat mendeteksi secara yuridis suatu perjanjian yang sudah dibuat oleh para pihak dapat di nyatakan “Batal Demi Hukum “? Menjawab pertanyaan di atas, maka cara yang dapat di lakukan adalah dengan melihat dan menganalisa konsep isi suatu perjanjian itu terlebih dahulu, apakah isi suatu perjanjian tersebut sudah memenuhi ketentuan ” objektif ” dari syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana di atur ketentuannya secara keperdataan dalam Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yaitu terpenuhinya suatu kaitan hubungan sebab akibat antara objek perjanjian tersebut dengan isi perjanjiannya yang mengandung kenyataan yang sebenarnya : yaitu berupa : ” Suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal ”

Apabila tidak terpenuhinya suatu syarat objektif tersebut, maka berlakulah suatu keadaan BATAL DEMI HUKUM sebagaimana hal ini tegas dinyatakan dalam Pasal 1335 KUH Perdata , yaitu :” Suatu Persetujuan tanpa sebab atau dibuat berdasarkan kepalsuan dari suatu sebab yang terlarang, maka Persetujuan ( – baca Perjanjian – ) tidak lah lagi mempunyai kekuatan ( – apapun secara hukum – ) .

Oleh karena itu, jika suatu konsep dalam suatu dokumen perjanjian di antara para pihak tertentu bagaimanapun bentuk nya sepanjang tidak ada kejelasan terhadap objek nya ( atau bisa jadi objeknya fiktif atau tidak ada ), dan terang benderang sangat jelas melanggar dan bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang – undangan , ketertiban umum yang sudah menjadi ketetapan dari pemerintah atau dari negara RI, serta terang benderang sangat bertentangan dengan kesusilaan yang berlaku di masyarakat atau pun sudah diatur kepastian berlakunya dalam peraturan per UU an , maka – sudah sangat tidak perlu diperdebatkan – bahwa perjanjian tersebut terkategori merupakan perjanjian yang “BATAL DEMI HUKUM” ;

Perihal batal demi hukum ini ketentuannya di atur dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang menerangkan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidak lah mempunyai kekuatan hukum apapun.

Adapun dikatakan tidak mempunyai kekuatan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1335 KUH Perdata merupakan dasar mutlak dari yang dimaksud dengan nyata “Batal Demi Hukum” , artinya suatu perjanjian tersebut dari sejak awal di buat nya dianggap tidak pernah dilahirkan sama sekali,sehingga dapat dikatakan tidak pernah ada sama sekali suatu perikatan ;

Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menyatakan, bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila di larang oleh Undang – Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau bertentangan dengan suatu ketertiban umum ;

Perlu diketahui hal yang membedakan suatu perjanjian yang ” Batal Demi Hukum ” dengan suatu perjanjian yang ” Dapat Di Batalkan ” adalah, bahwa ” Batal Demi Hukum ” dapat terjadi tanpa dimintakan pengesahan atau putusan hakim di pengadilan atau perjanjian tersebut batal dan dianggap tidak pernah ada sama sekali. Sedangkan, untuk perjanjian yang
“Dapat Di Batalkan ” ( – dalam hal ini melanggar persyaratan “subjektif”), maka perjanjian tersebut baru akan dianggap ” Batal ” dan tidak ” Mengikat ” apabila salah satu pihak meminta pembatalannya pada Hakim melalui proses persidangan perdata
di Pengadilan ;

Selanjutnya,sebagai praktisi hukum yang berprofesi sebagai Notaris/PPAT kita juga harus mengetahui dengan teliti dan mampu mendeteksi secara cermat apakah suatu materi dari suatu perjanjian yang di minta untuk di buatkan oleh para pihak telah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau belum, yakni dengan cara menggunakan ” tolak” ukur berupa ada atau tidak adanya suatu pelanggaran terhadap peraturan per undang – undangan , pelanggaran norma kesusilaan & pelanggaran ketertiban umum pada suatu dokumen perjanjian yang ada, sehingga kita dapat menentukan,bahwa suatu kesepakatan yang dibuat oleh para pihak pada kenyataannya merupakan suatu perjanjian yang ” BATAL DEMI HUKUM ” .

Misal dapat di contohkan disini adalah adanya pihak – pihak yang membuat perjanjian bertemakan ” perjudian ” antara bandar judi dan penjudi terkait ” judi sabung ayam”, yang didalam nya mengikat hak dan kewajiban antara pihak bandar judi dan penjudi di pihak lainnya, serta adanya ketentuan lainnya yang di kehendaki oleh pihak bandar judi dan pihak penjudi nya. Jadi jelas, hal ini dapat dikatakan sudah melanggar ketentuan tentang syarat sah nya suatu perjanjian, yaitu suatu sebab yang halal, karena perjudian merupakan perbuatan yang di larang secara hukum, tidak di perbolehkan secara agama, dan melanggar semua norma yang berlaku di masyarakat Indonesia, serta dapat mengganggu ketertiban umum ;

Meskipun ada ketentuan dalam Pasal 1338 Ayat ( 1 ) KUH tentang asas kebebasan berkontrak untuk semua perjanjian yang di buat para pihak, namun kebebasan dalam membuat perjanjian demikian tidak selalu mutlak bisa bebas di terapkan pada suatu perjanjian, melainkan terdapat batasan – batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang – undangan . Artinya para pihak yang akan membuat suatu perjanjian tetap terikat pembatasan, sebagaimana ketentuannya di atur dalam Pasal 1337 KUH Perdata , yaitu bahwa suatu perjanjian yang dibuat para pihak untuk selalu memperhatikan ketentuan peraturan hukum, norma kesusilaan dan kepentingan ketertiban umum di masyarakat .Semuanya di atur sedemikian rupa dalam KUH Perdata tujuannya adalah untuk menciptakan adanya kepastian hukum dan melindungi kepentingan hukum orang – orang yang membuat suatu perjanjian untuk kegunaan usaha, kepentingan ekonomi ,dan keperluan lainnya ;

Kalau semuanya sudah jelas, lalu kenapa lagi ada pihak – pihak yang masih saja membuat perjanjian yang bakal ” Batal Demi Hukum ” dan bahkan karena ketidaktahuan masyarakat banyak perjanjian yang jelas – jelas ” Batal Demi Hukum ” di pergunakan sebagai dasar bertindak para pihak melakukan transaksi perekonomian dan kepentingan usaha .

Demikian tulisan ini, terimakasih .Semoga bermanfaat .( – dy – ) .