Logo

Revolusi Lamban Masyarakat Pedesaan

REVOLUSI sebagai perubahan sosial tidaklah selalu melibatkan konflik kelas, apalagi yang mengakibatkan berdarah-darah, seperti ketika perubahan itu meniscayakan sebuah rezim ditumbangkan, ataupun ketika pemodal borjuis disingkirkan. Revolusi sebagai ujung tombak dari perubahan sosial semestinya juga dapat berlangsung dalam diam tanpa bahana dan bukan selalu karena konflik kelas ataupun gerakan-gerakan sosial. Dalam konteks penyebabnya adalah inovasi dan teknologi, kalaupun ada ketegangan di balik kesenjangan yang didorongnya, maka ia hanya membelokkan struktur stratifikasi sosial menuju struktur polarisasi sosial. Kalaupun ada resistensi maka ia teredam etika subsistensi, hanya berupa perlawanan tidak terorganisir dalam kontes harian, dalam letupan yang sering dan tersebar, dalam kebertahanan kepada operesi yang rutin. Kalaupun tegangan dan resistensi itu makin multi skalar, multi agen, multi bentuk, multi aktor, lebih persisten dan mentransformasikan agraria secara multi lapis, maka ia tetaplah bukan revolusi membahana berdarah-darah.

Revolusi lamban atau senyap adalah perubahan dan mendasar yang tanpa disertai hiruk pikuk gerakan sosial, gaung penumbangan rezim, dan romantisme pembongkaran sistem, dalam perisitiwa yang berdarah-darah. Inilah yang terjadi ketika padi di desa persawahan dan dataran rendah serta kakao di desa dataran tinggi dan pinggiran hutan bermodernisasi dalam apa yang disebut revolusi hijau. Inilah yang terjadi ketika penangkapan ikan, budidaya tambak, dan rumput laut, bermodernisasi dalam apa yang disebut revolusi hijau. Inilah revolusi yang basisnya adalah inovasi. Kebauran dalam teknika dan kelembagaan yang lahir dari kekuatan pengetahuan, dalam pertemuan antara pengetahuan yang diadopsi dari luar dengan pengetahuan yang dipelajari sendiri pengalaman, secara kontekstual pada spasial masing-masing. Inilah revolusi yang dibaliknya terjadi hiruk-pikuk proyek, gaung bantuan, dan romantisme intervensi. Inilah revolusi yang ukurannya adalah peningkatan berlipat-lipat produksi pangan, hasil perkebunan dan hasil perikanan-bukan heroisme jatuhnya rezim, bukan romantisme terkalahkannya kelas borjuis(pemilik modal).

Revolusi senyap juga terjadi ketika desentralisasi dan otonomi daerah berlangsung secara meluas. Dengan bersamaan terselenggaranya desentralisasi administratif, politik, dan fiskal, mengkonstruksi otonomi di kabupaten/ kota, melanjutkannya ke otonomi desa, lalu mendorong otonomi masyarakat. Dalam arus desentralisasi dan otonomi daerah itu berlangsung berbagai pemekaran, mulai dari pemekaran provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa atau kelurahan-kelurahan. Dalam arus desentralisasi dan otonomi daerah itu berlangsung aliran materi, energi, modal dan pengetahuan antara desa dengan kota yang makin intensif dan multi lapis. Ini menjadikan kesemuan dan penjelimetan menjadi cair dalam kebaruan dengan terbukanya katup-katup katarsis provinsi baru, kabupaten baru, kecamatan baru, dan desa/kelurahan baru.

Revolusi senyap ini juga terjadi dalam signifikasi dan hiruk pikuk partai politik, yang jumlahnya banyak dan aktornya dinamis meloncat-loncat, membuka katup pengaman kelas bukan birokrat atau bukan tentara dan atau bukan elite untuk tampil dalam dinamika perubahan, menciptakan kompleksitas pelaku, level, substansi dan arah perubahan, dalam kompleksitas ideologi ataupun paham yang memayunginya. Ini berlanjut dalam pengelompokkan pelaku, level, subtansi dan arah perubahan di tengah keberbedaan partai/garis politik/ideologi antara presiden dengan gubernur, gubernur dengan bupati/walikota dan bahkan bupati dengan kepala desa. Sebuah kebaruan pada ambang keteraturan sekaligus kekacauan.

Inilah kesenyapan yang tengah berlangsung dalam perubahan yang sebenarnya substansif, cepat, serta menyentuh akar kemasyarakatan dan kebudayaan rakyat. Setidaknya ia bukan sekadar evolusi alamiah tanpa hentakan, setidaknya ia bukan sekadar jebakan involusi. Ia adalah kumpulan revolusi senyap dalam variasi karakteristik oleh beragam entitas dan identitas. Dalam perspektif itu, desa adalah unit paling lokal, dalam rentang variasi yang paling luas, serta dalam kespesifikan yang paling beragam, yang lalu berinterkoneksi dalam jejaring satu sama lain, membentuk jalinan perubahan itu.

Dalam revolusi senyap itulah tersimpan alasan untuk berharap. Bahwa desa telah menjalani revolusi, yang meskipun revolusi itu senyap tanpa disertai dengan suara-suara yang membahana. Tetap ia adalah pengalaman yang memberi pelajaran untuk kompetensi dan kapasitas bagi perubahan selanjutnya. Bahwa desa telah menyajikan berbagai praktik cerdas dalam merespons spirit zaman pada generasinya, dan dengan praktik cerdas itu ia melampaui penggarisan evolusinya. Bahwa desa telah berganti generasi, dan generasinya kini adalah manusia dengan angka melek huruf, rata lama sekolah, angka harapan hidup dan daya beli yang lebih tinggi, manusia dengan tingkat kosmologi kehidupan yang sudah jauh terbentang luas, manusia dengan aksesibilitas dan mobilitas yang sudah meloncat melipat ruang dan waktu. Dengan alasan untuk berharap itulah, perjalanan desa ke depan mestinya lebih lincah berselancar dalam mengakselerasi garis evolusinya. (**)

(Penulis adalah Peneliti Polkastrad Bem Fisip, Universitas Sriwijaya)