Logo

Perubahan Iklim, Ekonomi hingga Pengairan yang Buruk Picu Alih Fungsi Lahan di Bengkulu

Pohon karet yang sedang disadap. Ilustrasi. Dok.BN

Pohon karet yang sedang disadap. Ilustrasi. Dok.BN

BENGKULU – Lahan pertanian di Bengkulu saat ini sudah mulai menurun, menurut data dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Provinsi Bengkulu sejak tahun 2015 hingga 2021 produksi lahan panen terjadi penurunan.

Kadep Advokasi dan Program Walhi Bengkulu Dodi Faisal mengatakan, hal tersebut disebabkan oleh iklim yang tidak menentu, tidak hanya mempengaruhi produksi lahan panen juga berdampak pada pola tanam.

“Itu mempengaruhi dari musim tanam dan musim panen, dari padi itu sendiri. Jadi kalau misalnya, pada sawah dari tiga kali menjadi dua kali. Karena, musim yang tidak menentukan, kemudian juga karena peningkatan hama pertanian,” kata Dodi pada Bengkulunews.co.id siang ini, Jumat (22/04/22).

Dodi mengatakan dari penyebab tersebut, akan ada peluang lain yang membuat para petani mengalihkan lahan mereka. Seperti sistem pengairan yang sudah tidak normal membuat para petani mengalihkan lahan tersebut untuk dibangun perumahan.

“Nah, itu bisa dilihat di Kota Bengkulu daerah Danau Dendam tak sudah, itukan sudah ada beberapa lahan warga, yang sekarang sudah menjadi rumah. Karena ya, sistem perairan yang lancar dulunya, sekarang jadi tidak lancar lagi,” sambungnya.

Ia juga menjelaskan ada juga alih fungsi lahan terkait potensi ekonomis, seperti petani kopi yang menganggap tidak memiliki nilai ekonomis yang baik dan melihat bahwa ada potensi jika mereka membuka lahan perkebunan sawit.

Tidak hanya itu, di Bengkulu Tengah sendiri Dodi mengatakan pengalihan lahan di daerah ini disebabkan oleh kesengajaan para pemilik perkebunan atau persawahan. Yang melihat ada potensi baru, yaitu mereka mengambil batu bara yang ada di sungai untuk dijual. Dan tentunya memiliki harga yang lebih ekonomis dibandingkan saat mereka berkebun.

“Salah satu contoh, juga terjadi di Bengkulu Tengah. Nah, ini lebih parah lagi, bukan alih fungsi lahan. Tapi lahan yang ditinggalkan, artinya lahan pertanian, persawahan, dan perkebunan sengaja ditinggalkan oleh warga,” katanya.

“Karena melihat sebuah potensi ekonomi baru, jadi di benteng itu ada yang namanya sungai bengkulu yang didalamnya itu mengandung batu bara. Yang kami duga, sengaja dialirkan oleh pertambangan batu bara. Nah, masyarakat kemudian berlomba-lomba mengambil batu bara di sungai itu, kemudian dijual,” jelas Dodi.

Menurut Dodi Bengkulu masih memiliki peluang, untuk mempertahankan lahan yang ada saat ini. Namun hal itu harus tetap diimbangi dengan kebutuhan para petani saat ini, serta respon dari Pemerintah untuk peduli dan mempertahankan kebutuhan dari petani.

“Biasanya, petani yang memang dari desa atau orang asli situ, biasanya punya budaya untuk kearifan lokal. Mempertahankan kebunnya, kemudian ada pola-pola tradisional yang mereka jalankan. Sehingga, ada kewajiban dari petani untuk mempertahankan lahan tersebut,” demikian Dodi.