Logo

Pendidikan, Antara Ilmu, Gelar dan Gengsi

oleh Evi Valendri, S.Pd

Pendidikan dengan landasan ilmu positif adalah sendi kehidupan. Tanpa pendidikan ini manusia melata dan telanjang. Setiap saat pendidikan berkembang dengan pesat di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Secara formal pendidikan di Indonesia saat ini biasa didapat dari sebuah lembaga bernama sekolah, yang terbagi dalam beberapa tingkatan. Mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.

Tak dipungkiri perkembangan pendidikan yang pesat tentulah memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan bangsa dan negara. Salah satu pengaruh baik itu adalah motivasi yang dilahirkan dari prestasi gemilang anak bangsa. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan formal yang agaknya begitu melesat, mulai menyoroti sasaran yang kurang tepat.

Pola pendidikan formal yang kita kenal saat ini, berfokus pada tujuan membuat semua orang memperoleh ijazah dengan nilai memuaskan. Karena hal ini, tujuan pendidikan yang awalnya untuk mendapatkan ilmu, jadi berbelok untuk memperoleh nilai, gelar dan demi gengsi. Hal ini dilandasi oleh pemahaman masyarakat yang keliru.

Berawal dari pemahaman bahwa persentase kelulusan suatu sekolah menentukan kualitas. Peristiwa ini membuat banyak sekolah kocar kacir untuk meluluskan siswa secara seratus persen, bahkan memberikan pertolongan siluman agar nilai ujian nasional menjadi fantastis. Akibatnya siswa yang mengetahui informasi ini menjadi malas belajar dan gagal mengerti arti penting menempuh pendidikan, hingga akhirnya output sekolah tidak bermutu.

Sasaran pendidikan yang seharusnya berorientasi pada kualitas malah berbelok pada orientasi ijazah dan nilai semata. Jika sudah begini maka nilai kemampuan murni siswa menguap begitu saja. Seolah ijazah dengan nilai tinggi adalah gengsi tak terbantah, tanpa peduli seimbang atau tidak dengan ilmu yang diperoleh.

Berlanjut pada tingkat perguruan tinggi. Entah berapa jumlah universitas “baik hati” tersedia di Indonesia. Baik hati dalam arti, Anda tak perlu kuliah terlampau gencar, cukup lancar bayar maka ijazah dengan nilai sangar dijamin terpapar. Ini berlaku untuk tingkatan diploma, strata satu, strata dua bahkan strata tiga.

Pada sisi lain, adapula yang serius menempuh pendidikan, namun fokus bukan pada ilmunya melainkan pada gelar saja. Gelar pendidikan yang panjang menjadi tren yang diperebutkan banyak pihak, terlebih bagi mereka yang memiliki banyak kepentingan dibalik semua itu. Pendidikan yang tinggi dan nilai yang bagus tentu tidak salah, jika sepadan dengan ilmu yang diperoleh dan tidak memiliki tujuan yang melenceng dari pendidikan yang seharusnya.

Memperoleh ijazah namun kering ilmu sama artinya haus di tengah lautan tanpa tahu kapan hujan akan datang. Perlu kita ingat, tujuan pendidikan sebenarnya, membuat manusia berilmu. Ilmu yang akan menjadi bekal hidup dan mati. Pendidikan yang seperti inilah akan membuat kita tetap prima berjalan terus dan tak telanjang.

Untuk apa kita bergelut dalam dunia pendidikan jika hal itu justru membuat kita menjadi tak terdidik dan bisa dengan mudah dibodohi oleh fatamorgana gengsi. Tempuhlah pendidikan untuk memperoleh ilmunya, karena untuk dapat memiliki hidup yang hidup, manusia membutuhkan ilmu, bukan sekedar gelar dan gengsi semata. Indonesia tak kurang manusia berpendidikan tinggi, tapi kurang manusia berilmu.

Hal ini tercermin dari tingginya kasus korupsi di Indonesia, dimana pelakunya adalah orang orang berpendidikan tinggi. Namun, para koruptor tersebut tak memiliki ilmu yang cukup untuk mengaplikasikan pendidikan yang diperoleh untuk mententramkan hidupnya dan keluarga, terlebih untuk bangsa, negara dan agama. Pendidikan yang baik akan mengutamakan ilmu, karena ilmu adalah sebaik-baiknya bekal bagi manusia. [Penulis adalah Guru Bimbingan Konseling SMAN 5 Bengkulu Tengah]