Bengkulu News #KitoNian

Cerita Perempuan Pelestari Hutan Larangan di Bengkulu

Diskusi dan Bedah Buku Otobiografi Peempuan Pelestari Hutan Larangan, Selasa (18/04/2023). Foto, BN

“Saya melihat buku ini betul-betul bercerita tentang peran dan kelihatan hasilnya sebagaimana filosofi yang selama ini kita katakan, bahwa memanfaatkan hutan itu bukan kesalahan, ketika hutan itu tetap terjaga fungsi-fungsi kelestariannya,” ucap Gubernur Bengkulu dalam bedah buku ‘Membangun Jalan Perubahan; Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan 20 perempuan pelestari hutan di wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Buku setebal 276 halaman ini adalah hasil karya perempuan yang menyadari pentingnya fungsi dan hak atas hutan.

Isinya bercerita tentang kisah pribadi mereka yang sempat ‘kucing-kucingan’ dengan pihak kemanan hingga akhirnya bisa terlibat dalam pelestarian hutan larangan.

Seperti Rita Wati dari KPPL Maju Bersama. Ia bercerita keluarganya telah membuka kebun di hutan larangan sejak tahun 70an. Namun karena tindakan itu ilegal, ia dan keluarga di Desa Pal VIII Kabupaten Rejang Lebong harus selalu berhadapan dengan petugas kehutanan.

Bahkan pada tahun 1993, warga Desa PAl VIII pernah dicekam ketakutan oleh petugas yang mendatangi rumah warga untuk mendeteksi perolehan kayu hasil hutan larangan. Bila ditemukan, pemilik rumah dan kayu yang dimiliki akan dibawa petugas.

“Akibatnya, nyaris semua bapak-bapak bersembunyi atau pergi dari rumah untuk sementara waktu. Hanya ibu-ibu yang tidak bersembunyi dan berani untuk menemui petugas kehutanan,” tulis Rita.

Cerita serupa juga dialami oleh Wahyuni Saputri. Orang tuanya terpaksa membuka hutan larangan untuk berkebun karena persoalan ekonomi. Ia yang saat itu masih berusia tujuh tahun sempat panik dan menangis ketika berhadapan dengan petugas kehutanan yang berpatroli.

Untuk menghindari petugas, ia dan keluarganya harus bersembunyi dan pulang melalui jalur semak belukar yang curam. Akibatnya, mereka sampai ke desa pukul 21.00 wib dengan meninggalkan seluruh perlengkapan sekolah Wahyuni di kebun.

“Saya merasa sangat sedih. Setelah itu, saya tidak lagi tinggal di kebun dan kembali tinggal bersama nenek di desa,” cerita Wahyuni.

Kini kehidupan para perempuan ini berubah. Aktivitas warga yang dulu membuka hutan larangan untuk berkebun kini mulai ditinggalkan. Kesadaran para perempuan ini tentang pentingnya fungsi hutan membuat mereka menjadi bagian dari pelestarian hutan larangan.

Puluhan perempuan kini terlibat langsung dalam pelestarian tanpa meninggalkan sisi ekonomis hutan larangan melalui Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL). Caranya dengan memanfaatkan sumber daya hutan bukan kayu untuk diolah menjadi barang yang bernilai ekonomis. Aktivitas ini disetujui oleh Balai Besar TNKS Bengkulu.

Sejak saat itu, beragam olahan hasil hutan bukan kayu seperti pakis, kecombrang dan tumbuhan lain diproduksi dan dijual ke pasaran. Untuk menjaga kelestariannya kelompok ini melakukan budidaya di areal hutan yang distejui dalam kerja sama kemitraan dengan hutan larangan.

Kesadaran akan fungsi dan hak-hak perempuan atas hutan ini juga dirasakan oleh salah satu mahasiswi jurusan Argoteknologi Universitas Pat Petulai, Rika Nofrianti. Ia secara aktif terlibat dalam pelestarian hutan bersama Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD).

Bersama KPPSWD, Rika tidak hanya aktif di KPPL Desa PAl VIII, tapi juga desa lain seperti KPPL Tebat Tenong Luar, KPPL Sumber Jaya dan KPPL Sejahtera. Ia juga menyuarakan hak-hak perempuan atas hutan melalui fotografi dan tulisan.

“Saya dan teman-teman membuat blog Jendela Perempuan Desa dan memanfaatkan media sosial untuk mempublikasikan foto dn tulisan yang menyuarakan hak-hak perempuan terkait hutan dan lingkungan hidup,” tulis Rika.

Baca Juga
Tinggalkan komen