Berita Nasional dan Lokal #KitoNian

ABK China dari Indonesia di Buang ke Laut : Bagaimana Hukum Menanggapinya?

Oleh : Tita Mayang Sari

INDONESIA geger megenai pemberitaan dari Media Korea Selatan MBC (Munhwa Broadcasting Corporation). Kali ini Indonesia bukan geger karena Idol mereka yang comeback ataupun ngeluarin teaser. Tapi, kegegeran ini muncul karena MBC memberitakan mengenai Anak Buah Kapal (ABK) China yang berasal dari Indonesia di Buang ke laut.

Pemberitaan mengenai ABK China yang dieksploitasi, dengan tuntutan bahwa ABK China harus bekerja lebih dari 30 jam dan jeda 6 jam sekali untuk makan dan istirahat. Belum habis permasalahan mengenai COVID-19, kini Pemerintah Indonesia disuguhkan kembali dengan permasalahan rakyatnya yang ada di tangan orang asing. Kasus ABK Indonesia yang bekerja di kapal China bernama Longxing 629 yang dieksploitasi menjadi sorotan hingga trending di Korea Selatan.

Peristiwa ABK China dari Indonesia di buang ke laut tertangkap kamera saat kapal ikan Long Xin 605 dan Tiam Yu 8 yang berbendera China berlabuh di Busan, Korea Selatan. Pada saat kapal tersebut mampir ke Busan, Korea Selatan,14 ABK melaporkan ke Pemerintah Setempat tentang kondisi mereka yang sungguh memprihatinkan.

Tiga ABK china dari Indonesia meninggal dunia pada saat berada di kapal. Ketiga ABK tersebut, yaitu Al-Fattah yang berusia 19 tahun. Sefri yang sedang berusia 24 tahun asal dari Palembang. Serta Ari yang sama dengan Sefri berusia 24 tahun juga.

Ketiga ABK China dari Indonesia tersebut meninggal dunia, karena diduga akibat penyakit yang menular. Serta satu lagi ABK China dari Indonesia, Effendi yang sempat dilarikan ke rumah sakit di Korea Selatan. Namun, meninggal dunia saat di perjalanan menuju rumah sakit.

Dari hasil forensik, dijelaskan bahwa Effendi meninggal karena Pheumonia (radang paru-paru). Lantas, penyakit menular seperti apa sehingga ABK China dari Indonesia dibuang ke laut?

Tidak asing jika Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di kapal nasional maupun kapal asing sering menjadi korban perdagangan orang di industri perikanan. Mereka sangat rentan untuk dieksploitasi dan menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), serta kekerasan seksual.

Dibeberapa industri perikanan Asia termasuk Indonesia, para ABK banyak yang mengalami kesulitan dikarenakan upah yang rendah, diskriminasi gender, pelanggaran di tempat kerja, pemotongan gaji serta keterlibatan buruh anak dan kerja paksa.

Sering kali masalah yang menimpa ABK karena penempatan ABK yang menggunakan sistem Letter of Guaratee (LG). Misalnya saja seperti, seorang ABK yang seharusnya mendapat penempatan di Jepang, namun nyatanya ABK tersebut malah dikirim ke China. Sehingga data ABK tidak tercatat oleh perwakilan pemerintah di Jepang.

Hal tersebut menjadi salah satu penyebab sulitnya proses penyelesaian sengketa atau masalah yang menyangkut ABK tersebut. Permasalahan tersebut terjadi karena lemahnya perjanjian kerja laut yang disepakati, serta minimnya pengawasan dari pemerintah. Perlindungan hukum terhadap ABK menjadi tanggung jawab negara tempat ABK bekerja, dan negara pelabuhan.

Para ABK mendapat perlindungan dalam hukum nasional yang diatur dalam Undang-undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun, sangat disayangkan Undang-Undang tersebut belum mengatur secara jelas mengenai perlindungan yang akan diberikan negara terhadap para Anak Buah Kapal (ABK). Karena dalam Undang-undang tersebut hanya menjelaskan tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri secara umum, padahal perlu ada pengaturan secara khusus mengenai tenaga kerja ABK.

Dalam hukum internasional, permasalahan mengenai ABK ini diatur lebih lanjut dalam konvensi International Labour Organization (ILO) No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, yang mana dalam konvensi ini memberikan kelayakan kerja di atas kapal bagi para Anak Buah Kapal (ABK). Namun dirasa itu semua belum cukup, mengingat masih banyak ABK yang mendapatkan pelecehan serta menjadi objek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) .

Sehingga dirasa perlu adanya regulasi yang cukup kompleks mengenai Perlindungan bagi para ABK,serta memperkuat konvensi (perjanjian) yang disepakati oleh dua atau lebih negara.Hal tersebut bertujuan agar hak yang dimiliki oleh seorang ABK dari ia lahir sampai meninggal dunia itu terjamin.

Penulis Mahasiswi Semester IV Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Baca Juga
Tinggalkan komen