Berita Nasional dan Lokal #KitoNian

Polemik Omnibus Law

Oleh : Risna Karinda

Ilustrasi @Ist

“EQUM ET BONUM EST LEX LEGUM “ Apa yang baik dan adil ialah hukumnya hukum. Ketika kita berbicara mengenai pembentukan peraturan perundang-undang maka sudah tentunya ketentuan yg dibentuk adalah dalam rangka mengejawantahkan ketentuan yg dimaksud dalam UUD RI 1945 telah menegaskan bahwasanya “Bumi, Air, dan Kekayaan yg terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besar nya untuk memakmurkan” .

Regulasi yang Dianggap Berbelit

Artinya UUD pun telah memberikan legitimasi sepenuhnya kepada negara untuk mengelola kekayaan negara dalam rangka memakmurkan rakyat. Pemerintah bersama DPR dengan legitimasi yang diberikan UUD dalam pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 dan 2 berupaya membuat kebijakan untuk memaksimalkan pengelolaan kekayaan negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Namun dalam pengelolaanya menemui kendala karena regulasi yg berbelit sehingga menghambat investasi dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi. Bayangkan saja ada 82 UU dan 1100 pasal yang tumpang tindih yang semakin membuat rumit regulasi dalam pengelolaan birokrasi, banyak investor dan para pengusaha yang mengeluhkan persoalan perizinan.

Contohnya saja untuk membangun sebuah hotel selesai dalam jangka waktu satu tahun namun izin nya baru terbit setelah dua tahun sehinga hal tersebut berimplikasi pada terhambatnya pembangunan, pemerintah berusaha membuat terobosan untuk merampingkan dan meminimalisir regulasi yang bebelit yakni dengan Omnibus Law Cipta Lapangan kerja, Perpajakan dan UMKM.

Omnibus Law adalah suatu Undang-Undang yang dibuat untuk menyasar satu isu besar  yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa uu sekaligus  sehinga menjadi lebih sederhana yang tujuan akhirnya adalah untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi nasional.

Strategi untuk Menyelesaikan Persoalan

Ada tiga hal yang menjadi sasaran utama yakni Undang-Undang Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja dan pemberdayaan umkm,menurut peneliti pusat studi hukum dan kebijakan rizky argama bukan hanya indonesia yang akan menerapkan omnibus law, melainkan sudah ada sejumlah negara menerapkannya sebagai strategi untuk menyelesaikan persoalan regulasi berbelit dan tumpang tindih.

Bila pemerintah hanya menyasar satu persatu  kemudian direvisi ke dpr, maka proses nya dapat memakan waktu lebih dari 50 tahun,sedangkan dengan berbagai persoalan tumpang tindih aturan uu saat ini kita perlu segera  untuk menemukan formulasi yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.

Tentunya hal itulah yang menjadi urgensi mengapa pemerintah mengajukan omnibus law kepada DPR.

Selain dari pada  beberapa urgensi tersebut senada pula dengan apa yang disampaikan R.soeroso bahwa materi yang sama tujuan dari dikodifikasikannya suatu undang-undang adalah “pembukuan hukum dalam suatu himpunan UU dalam tujuanya adalah agar didapat suatu rechtseenheid (kesatuan  hukum) dan suatu rechts-zakerheid (kepastian hukum)”.

Demi mengenjot investasi pemerintah berencana mengabungkan  1244 dari 79 Undang-undang dalam satu komando yakni omnibus law.

Adapun beberapa tujuan dari omnibus law :

1.  Mengatasi konflik perundang undangan secara cepat, efektif dan efisien.

2. Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah untuk menunjang investasi

3. Pengurusan perizinan lebih terpadu

4. Mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit belit

5. Adanya jaminan  kepastian hukum dan perlindungan bagi para pengambil kebijakan.

Dengan membentuk uu berkonsep omnibus law maka indonesia maka indonesia bisa mengabungkan paham civil law dan common law sistem untuk mencari keadilan dan mencapai satu tujuan yang sama.

Omnibus Law Dianggap Tidak Hukum Civil

Namun disisi lain, dalam paradigma yang berbeda, omnibus law dianggap tidak hukum civil dengan Indonesia yang menganut sistem hukum civil law atau eropa continental.

Berlakunya asas lex specialis derogat legi generali dan lex postiriori derogat legi priori dalam sistem Perundang-undangan Indonesia dianggap dapat membunuh kesaktian omnibus law dikemudiaan hari. Meskipun pemerintah bersikukuh omnibus law dapat menjadi instrumen penting untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi namun ruu cipta lapangan kerja dianggap melemahkan pemerintah daerah dan juga merugikan buruh.

Hal ini disebabkan oleh pembuatan draft RUU yang berlangsung tertutup dan minim partisipasi publik terbukti dari 127 pansus yang dibentuk hanya melibatkan kaum pengusaha dan investor.

Tujuan dari omnibus law untuk menciptakan lapangan kerja kurang relevan karena angka pengangguran terus menurun, dari sisi investasi pertumbuhan investasi juga dinilai tidak terlalu buruk, persepsi investasi asing terhadap indonesia juga terus membaik.

Guru besar ilmu perundang-undangan Indonesia, Prof Maria Farida, mengatakan bahwa gagasan pembentukan omnibus law ini lazim diterapkan di negara yang menganut common law.

Kalau omnibus law diterapkan justru malah menimbulkan persoalan baru dalam sistem perundang undangan dan hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyulitkan aparat penegak hukum semua.

Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul allgemiene rechtslehre mengemukakan bahwa  bahwa sesuai dengan teori hans Helsen, maka norma suatu negara hukum dari negara manapun selalalu berlapis dan berjenjang jenjang.

Norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tingi bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Sampai pada norma yang paling tinggi atau disebut norma dasar .

Maka dari itu, aspek yang harus diperhatikan  dalam pembentukan omnibus law bukan hanya tentang kemudahan berusaha dan sekedar menarik minat investasi belaka tapi juga kita harus melihat urgensi dari pemberlakuan omnibus law tersebut dan jangan smapai bertentangan dengan norma hukum yang telah ada.

Maka dari itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah mengenai ada tidaknya ketentuan yang mengatur tentang omnibus law ini dalam hirearki peraturan perundang undang kita saat ini, mengingat dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak mengatur secara eksplisit mengenai pemberlakuan uu tersebut.

Sehinga jika dipaksakan tetap diberlakukan,  maka yang seharusnya dilakukan adalah merombak secara keseluruhan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 yang sudah tentunya akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, karena harus ada kajian mendalam.(Penulis mahasiswi Semester 4 Fakultas Hukum Universitas Bengkulu)

Baca Juga
Tinggalkan komen