Logo

Biopestisida, Pestisida Hayati untuk Pertanian Berkelanjutan

INDONESIA merupakan negara agraris yang dimana hampir diseluruh wilayahnya ditumbuhi dan atau memelihara sesuatu yang berhubungan dengan sektor pertanian. Sebagian besar masyarakatnya pun bekerja dibidang pertanian. Bahkan penunjang devisa terbesar Indonesia dihasilkan dari bidang pertanian. Ini artinya sektor pertanian berperan penting dalam hal perekonomian bagi negara Indonesia.

Tidak hanya itu, penduduk Indonesia juga sehari-harinya mengkonsumsi kebutuhan makanan seperti beras, jagung, ubi dan sayuran yang semua itu dihasilkan dari bercocok tanam atau bertani. Dalam hal ini sektor pertanian menjadi hal yang paling utama bagi negara dan penduduknya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing untuk kesejahteraan yang harapannya bisa berlanjut terus-menerus.

Selain itu, banyaknya sumber daya alam yang melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Suatu negara yang terdapat banyak sumber daya alam maka negara tersebut akan menjadi negara yang kaya. Sumber daya alam yang dimaksud baik sumber daya alam yang berupa benda hidup (hayati) maupun yang berupa benda mati (non-hayati). Banyaknya sumber daya alam tersebut akan sangat baik jika dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya terutama untuk mengatasi permasalahan yang ada di negara tersebut.

Penggunaan pestisida kimia yang marak digunakan oleh para petani akan membuat dampak yang berkepanjangan bagi makhluk hidup dan juga lingkungan. Biaya produksi yang mahal, terbunuhnya musuh alami serta pencemaran lingkungan oleh bahan kimia. Untuk mengatasi masalah tersebut dan terciptanya pertanian ‘back to nature’ maka petani dapat menggunakan biopestisida atau pestisida hayati yang banyak memiliki kelebihan dan pastinya lebih sehat dibandingkan pestisida kimia.

Agar terwujudnya pertanian berkelanjutan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dengan baik, maka dalam proses budidaya pertanian dapat menggunakan biopestisida untuk pengendalian hama penyakit. Biopestisida merupakan semua bahan hayati yang berasal dari tanaman, hewan, maupun mikroba yang digunakan untuk memusnahkan hama dan penyakit pada tanaman.

Tetapi menurut Untung Suwahyono (2009), biopestisida ini tidak mengakibatkan pemusnahan total dari populasi hama yang ada dan organisme lain yang tidak menjadi target perlakuan. Lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat (US-EPA) memilahnya menjadi tiga kelompok besar.Pemilahan ini banyak menjadi rujukan lembaga lain di dunia, termasuk Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) serta Badan Kesehatan Dunia (WHO).

1. Pestisida mikrobial (microbial pesticide), yaitu jenis produk biopestisida yang mengandung mikroorganisme (bakteri, fungi, virus, dan protozoa) sebagai bahan aktif. Sering disebut sebagai agen pengendali hayati atau agen hayati (biological
control agens).

2. Protektan-Bagian Integral-Tanaman (PBIT) atau Plant Incoporated Protectants (PIPs), yaitu bahan materi genetik bersifat pestisida artinya faktor keturunan (DNA) yang dapat membentuk senyawa bersifat racun ditambahkan atau dimasukkan ke dalam tanaman. Kelompok ini sering disebut sebagai tanaman transgenik (transgenic plant pesticides).

3. Pestisida biokimia (biochemical pesticides), yaitu bahan alami yang digunakan untuk mengendalikan hama dengan mekanisme nontoksik. Yang termasuk bahan alami ini di antaranya feromonoid seks (sex pheromone) dan berbagai ekstrak tanaman yang dapat memikat serangga hama. Pestisida yang berasal dari tanaman juga termasuk ke dalam kelompok pestisida biokimia.

Namun demikian, biopestisida ini akan menjadi “penolong” bagi para petani di Indonesia untuk beralih ke pestisida alami yang ramah lingkungan. Adapun target yang akan dicapai Kementerian Pertanian pada tahun 2020 diantaranya adalah meningkatkan produksi Padi, Jagung, Kedelai, Bawang Merah dan Cabai. Untuk memenuhi target pasar tersebut maka perlu dilakukan faktor pendukung agar terciptanya program tersebut.

Penggunaan biopestisida dapat meningkatkan hasil produksi panen dengan tetap membuat tanaman bebas dari bahan kimia, biaya produksi yang lebih rendah, tidak mudah menimbulkan kekebalan hama dan juga memberikan dampak yang menguntungkan dalam aspek ekonomi sehingga meningkatkan pendapatan petani.

Biopestisida sangat efektif untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit tanaman namun tidak bersifat racun sehingga tidak mengganggu kesehatan manusia dan merusak lingkungan. Mekanisme kerja dari biopestisida yaitu mampu menghambat pergantian kulit dari fase pupa, merusak perkembangan telur, menghambat reproduksi serangga betina, menghambat perkembangan patogen penyakit dan lain-lain.

Untuk itu aplikasi penggunaan biopestisida ini sebaiknya digunakan untuk pencegahan atau perlindungan sebelum terjadi serangan hama dan penyakit pada tanaman. Beberapa tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan biopestisida, yaitu mimba, babadotan, sirih, cengkeh, selasih, tuba, tembakau, sirsak, gadung dan lain-lain.

Lalu bagaimana hubungan biopestisida dengan pertanian berkelanjutan? Menurut Rupa Matheus (2019) ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep pertanian berkelanjutan tersebut, yaitu pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan sumber daya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi.

Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well being) generasi mendatang. Sistem pertanian berkelanjutan juga berisi ajakan untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumber daya alam, dengan mempertimbangkan tiga aspek yaitu pertama, adanya kesadaran untuk menjaga lingkungan (Ecologically Sound), kedua memberikan nilai ekonomi (Economic Valueable).

Ketiga berwatak sosial (Socially Just). Artinya dari
pernyataan tersebut kita khususnya petani akan lebih baik jika menggunakan pestisida hayati untuk mempertahankan atau melestarikan lingkungan dan sumber daya alam. Karena pada hakikatnya pertanian berkelanjutan adalah kembali kepada alam, yang mana tidak merusak, tidak mengubah, selaras dan seimbang dengan lingkungan khususnya padasektor pertanian.

Sebenarnya para petani bisa saja membuat pestisida hayati ini dengan memanfaatkan sumber daya alam disekitar yang melimpah, tetapi terkadang petani kurang mengerti cara membuatnya juga tanaman apa saja yang bisa dijadikan sebagai pestisida hayati dan ingin dengan cara yang instan dan cepat. Maka solusinya adalah dengan melakukan sosialisasi oleh para penyuluh pertanian agar penggunaan biopestisida ini bisa menjadi pestisida utama yang digunakan petani.

Pengembangan biopestisida juga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak khususnya pemerintah agar dapat digunakan dan menguntungkan petani sebagai pengguna serta bebas dari pencemaran bahan kimiawi dan konsumen mendapatkan produk pertanian yang lebih sehat. (***)

Penulis adalah mahasiswi Jurusan Agroekoteknologi Universitas Bengkulu