Logo

Perlindungan dari Marital Rape dalam RKUHP

PEMENUHAN kebutuhan seksual menjadi salah satu bagian wajib dari setiap perkawinan. Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami maupun istri dalam pemenuhan kebutuhan seksual haruslah dijaga. Ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan ini bisa memicu terjadinya tindak pidana perkosaan perkawinan (marital rape). Pertanyaan klasik yang hadir apakah mungkin seorang suami bisa memperkosa istri?

Kontroversi semakin menjadi ketika hadir Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Indonesia. Sebagian masyarakat nasional termasuk di Provinsi Bengkulu bertanya-tanya terhadap kondisi ini. Pasal mengenai perkosaan menjadi salah satu bab di dalam RKUHP. Berdasarkan RKUHP versi September 2019 yang telah dapat diakses secara luas. Pada Pasal 479 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”. Cukup jelas bahwa terdapat ancaman pidana 12 tahun bagi tindak pidana perkosaan.

Diskursus baru hadir melalui Pasal 479 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa “termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan: persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah”. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa arah pasal ini untuk mengekang suami dalam melakukan hubungan seksual dengan istri karena dibutuhkan persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan hubungan seksual. Akan tetapi, roh dari pasal ini sebenarnya menjamin perlindungan kepada istri ataupun suami untuk terhindar dari marital rape.

Sejarah aturan Marital Rape dalam hukum nasional
Marital Rape dalam hukum nasional hadir pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pada Pasal 8 huruf a UU PKDRT dijelaskan bahwa “kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.” Penjelasan pasal ini menyatakan termasuk pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Adapun ancaman pidana tercantum pada Pasal 46 UU PKDRT menyatakan “setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.”

Sebenarnya kedua pasal ini sudah menjelaskan upaya pencegahan marital rape. Akan tetapi, masih aturan ini belum menjelaskan mengenai korban secara jelas dan nyata malah terlalu luas. Pasal 2 UU PKDRT memberikan yang termasuk ruang lingkup rumah tangga adalah suami, isteri, dan anak, bahkan pembantu rumah tangga juga bisa menjadi korban dalam KDRT. Dengan kata lain, calon korban terhadap marital rape menjadi lebih luas. Penerapan dari pasal ini salah satunya adalah Putusan Nomor:12/Pid/2015/PT.BGL. Artinya, roh untuk pencegahan marital rape sudah diletakkan di UU PKDRT telah hadir sebelum Pasal 497 RKUHP lahir.

Budaya Patriarki dan Marital Rape
Perkawinan sah terjadi ketika dilakukan berdasarkan hukum dan agamanya. Tidak dapat dipungkiri budaya partiarki sangat kental di Indonesia. Istri selalu dianggap lebih lemah dibandingkan posisi suami lebih dominan. Kondisi semacam ini menempatkan istri menggantungkan harapan kepada suami dan terkadang istri hanya dianggap sebagai pelayan suami. Posisi ini menciptakan gender related violence atau kekerasan yang disebabkan oleh bias gender dan tentu saja marital rape adalah salah satunya.

Kejadian dimana istri diminta berhubungan seksual ketika lelah namun karena adanya anggapan bahwa istri harus tunduk kepada suami maka terpaksa harus mengiyakan. Atau kondisi yang lebih ekstrem, ketika istri diajak untuk melakukan hubungan seksual yang menyimpang. Pada peristiwa semacam ini, kecenderungan istri selalu diletakkan pada posisi yang lemah, sehingga tidak mampu melakukan apa-apa. Keadaan semacam ini apabila dibiarkan berlarut-larut akan memberikan dampak psikologis bagi istri.

Padahal aturan mengenai perkawinan yang masih berlaku hingga tulisan ini dibuat yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada Pasal 31 menyatakan bahwa hak kedudukan istri dan suami adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga. Dalam kehidupan seksual juga demikian sekalipun suami maupun istri idealnya perlu kesepakatan. Merupakan hal yang sifatnya wajib tanpa adanya paksaan ataupun keterpaksaan dari salah satu pihak karena baik suami ataupun istri memiliki hak dan kebebasan atas tubuh mereka sendiri. Ketika kedua pasangan bersepakat niscaya kebahagian bisa tercapai.

Agaknya berlebihan apabila hanya beranggapan bahwa Pasal 479 ayat (2) huruf a RKUHP hanya menyatakan suami atau istri dibatasi untuk berhubungan seksual ataupun hanya sanksi pidananya saja. Akan tetapi, pandangan lebih proporsional dan didalami terhadap untuk mencegah marital rape. Aturan ini diharapkan memberikan jaminan baik suami atau istri bisa menjadi korban marital rape. Akhir kata mengutip dari Satjipto Rahardjo, prinsip hukum hadir untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum tidak untuk diri sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahterahan dan kemuliaan manusia.(***)