Logo

Makna Buddha dan Prosesi Perayaan Hari Waisak di Bengkulu

Perayaan hari raya waisak, Vihara Buddhayana. Foto, Cindy/BN

Perayaan hari raya waisak, Vihara Buddhayana. Foto, Cindy/BN

Umat Buddha sedang memperingati hari waisak ke 2566 BE, Senin (16/05/2022). Waisak dengan nama lain yaitu Wesak atau Hari Buddha, dianggap sebagai perayaan ulang tahun Buddha. Bagi sebagian umatnya, Waisak menjadi tanda pencerahan dari seorang Buddha ketika ia menemukan makna hidup.

Buddha sendiri diyakini adalah seorang pangeran yang dilahirkan dalam keluarga kaya di sebuah daerah yang kini disebut Nepal. Ia dilahirkan pada abad kelima SM. Umat Buddha meyakini bahwa Siddhartha Gautama menyadari kekayaan dan kemewahan tak menjamin kebahagiaan.

Oleh karena itu, ia melakukan perjalanan sebagai orang suci yang tidak memiliki rumah. Hal ini Buddha lakukan untuk belajar lebih banyak tentang dunia hingga melihat penderitaan di dunia.

Setelah enam tahun belajar dan meditasi selama perjalanannya, Buddha menjadi sadar secara spiritual dan mencapai tujuannya untuk menemukan makna dalam kehidupan. Hal tersebut yang dikenal dengan pencerahan dan hal ini pula yang menjadikan Siddharta Gautama disebut Buddha.

Selama sisa hidupnya, ia mengajar pengikutnya tentang pengalaman tersebut. Perlu diketahui, sebutan Buddha diyakini bukan merupakan nama, melainkan gelar yang berarti seseorang yang tercerahkan atau terbangun.

Di Bengkulu sendiri para umat Buddha melewati serangkaian acara dalam memperingati hari tersebut. Dimulai dari mengelilingi Vihara Buddhayanna dalam satu kali, sambil membacakan Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi, dan membawa bendera Indonesia dan bendera dari Vihara Buddhayanna.

“Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi (aku berlindung kepada Buddha), Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi (aku berlindung kepada Dhamma), Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi (aku berlindung kepada Saṅgha).”

Ketua Lembaga Pendeta Provinsi Bengkulu Sunli mengatakan pembacaan ini dilakukan, agar kita melihat sifat-sifat dari Budhha dan bagaimana kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari kepada sesama.

“Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi, kita merenungi itu apa, apa itu dama, dama sang buddha yang diajarkan sang Buddha. Kalau kita tahu itu baik, kita lakukan dama itu supaya bermakna bagi kita semua. Jadi tanpa membandingkan, sama kita peduli, mengasihi dan bijaksana dalam berbicara,” kata Suli pada Bengkulunews.co.id siang ini, senin (16/05/99).

Setelah mengitari Vihara prosesi selanjutnya adalah memandikan pratasina Buddha rupang buddhis, sambil membacakan Paritta dan melantunkan mantra-mantra membersihkan ucapan, hati, dan pikiran.

Sebagai simbolik, diletakkan patung Buddha kecil di pintu masuk aula utama siap untuk menjalani ritual pemandian dengan air bunga. Usai kebaktian dan membacakan doa, dimulailah pemandian rupang Buddha yang diikuti secara bergilir umat.

Barulah setelah itu umat buddha melakukan kebaktian atau ibadah dengan menaikan puja, lalu setelah itu para umat akan melakukan kegiatan makan bersama sebelum pulang.