Logo

FPL JMS Catat Dua Hal Penting yang Harus Dimuat dalam RUU TPKS

Foto, Cindy/BN

Foto, Cindy/BN

BENGKULU – Forum Pengada Layanan (FPL), Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi harmonisasi pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pemerintah.

Apresiasi ini disampaikan khususnya untuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi.

“Progresif sesuai dengan kepentingan korban kekerasan seksual, termasuk hak penyandang disabilitas korban kekerasan,” kata Dewan Pengarah Nasional (DPN) FPL 2015-2018, Susi Handayani dalam siaran pers yang diterima bengkulunews.co.id, Selasa (5/04/2022).

FPL JMS mencatat bebarapa hal yang dianggap sebagai upaya positif dalam proses pengesahan RUU TPKS. Seperti memasukan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual.

Masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual juga dianggap sebagai langkah yang baik.

“Dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan terpadu,” ujar Susi.

Adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual. Hal ini disebut menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penangan perkara kekerasan seksual.

Selain itu, ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban juga patut diapresiasi.

Ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati Korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum.

“Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual yang tidak harus melarikan diri dari pelaku,” sambung Susi.

Terakhir  ketentuan lain  tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.

Namun, FPL JMS mencatat pula beberapa hal yang masih perlu mendapatkan perhatian, yaitu:

  1. Belum masuknya tindak pidana perkosaan dalam RUU TPKS. Perkosaan penting untuk masuk dalam RUU TPKS karena merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dengan menggunakan modus, cara, dan alat, yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada kelangsungan hidup para perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Modus perkosaan ini juga terjadi di tempat penyandang disabilitas tinggal dan bersosialisasi.
  2. Belum masuknya akomodasi yang layak bagi korban, khususnya penyandang disabilitas, dalam setiap proses peradilan.

“Kami berharap dan mengusulkan agar tindak pidana perkosaan dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas masuk dalam RUU TPKS. Kami terus mendukung dan mendorong Panja RUU TPKS untuk segera melakukan pembahasan tingkat II dan mengesahkan RUU TPKS maksimal bulan akhir April 2022,” demikian Susi.