Logo

Mengunjungi Makam Keramat Leluhur Rejang

Konon katanya, di sebuah perkebunan milik Nudin. warga Desa Semelako II, Bungin, Pasir Lebar Kabupaten Lebong terdapat makam Rio Cende dan Rio Pijar. Leluhur Suku Rejang yang masih satu pertalian darah dengan Ki Karang Nio. Meski diyakini makam tersebut merupakan makam leluhur, namun sayang kondisi makam tidak terawat. Berikut Liputannya!

Kontributor Bengkulunews.co.id – Lebong

Sektor pariwisata di Kabupaten Lebong belum dikelola dengan baik, meski kabupaten ini memiliki potensi pariwisata yang besar. Salah satunya wisata sejarah. Keberadaan makam di perkebunan milik Nudin yang diyakini adalah makam Rio Cende dan Rio Pijar, kondisinya tak terawat dan memprihatinkan.

Diceritakan Nudin, ketika membeli tanah kebun ini, memang sudah ada makam itu. Hanya saja makam tersebut dibiarkan begitu saja oleh pemilik sebelumnya. Bahkan karena dipercaya di dalam makam itu terdapat emas peninggalan Kolonial Belanda, maka makam menjadi rusak oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencari emas.

“Ketika tahun 1970-an saya beli tanah ini dari pemiliknya, saya sudah tahu ada makam keramat di dalamnya, namun ketika itu kondisinya sudah rusak akibat tangan-tangan jahil yang katanya ingin mengambil emas peninggalan kolonial Belanda,” kata Nudin.

Ditambahkan Nudin, dari cerita-cerita rakyat yang ada dan sepengetahuannya, makam tersebut terdiri dari empat buah makam yaitu makam Rio Pijar, Rio Cende, Dayang Jeruju dan makam Dayang Jeriji yang masih satu pertalian darah dengan Ki Karang Nio dan sejarah tenggelamnya Desa kuno Semelako yang bernama Desa Trans Mambang yang sekarang menjadi Daerah Pasir Lebar.

“Kira-kira 600 tahun yang lalu. Seharusnya hal-hal seperti ini kita selamatkan karena nenek moyang leluhur suku bangsa Rejang, salah satunya ya beliau-beliau ini,” terang Nudin.

Jika saja, lanjutnya, pemerintah daerah ingin melestarikan makam ini dan menjadikannya sebagai aset wisata. Maka pria paruh baya ini siap dan sukarela memberikan pengelolaannya kepada pemerintah daerah.

“Hanya saja saya berpesan, saya masih diizinkan untuk menetap di kebun saya ini, karena saya dan keluarga hanya hidup dengan bergantung dari hasil kebun ini saja,” demikian Nudin. (118)