Logo

#CukupDiYuyun, #SaveOurSisters, Solidaritas & Kampanye Stop Kekerasan

#CukupDiYuyun, #SaveOurSisters, Solidaritas & Kampanye Stop Kekerasan

bengkulunews.co.id – Belum pulih rasa perih menyayat hati keluarga Yuyun. Gadis kecil yang pergi sekolah namun tak kunjung pulang di akhir pekan pada awal April lalu. Ia ditemukan di jurang kebun karet warga. Kaki dan tangannya terikat, pakiannya tak lengkap, nyaris telanjang bulat.

Hari ini, tepat sebulan jasad anak kelas 1 SMP (saat ini disebut kelas tujuh/ VII) itu ditemukan. Anak perempuan pasangan Yana dan Yakin tersebut, tewas. Yuyun yang belum lama genap 14 tahun, menjadi korban pemerkosaan 14 orang peminum tuak, hingga tak bernyawa.

Peristiwa tragis yang menimpa adik kembar Yayan, menyulut keprihatinan berbagai pihak di tanah air, bahkan sampai ke luar negeri. Mengutuk, mengecam segala bentuk kekerasan jahat. Aksi SOS (Save Our Sister) digelar sebagai bentuk solidaritas, serta serukan akan bahaya kekerasan seksual, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak. Aksi serentak di seluruh penjuru tanah air, termasuk di Kota Bengkulu.

Usai tandatangan solidaritas dan membunyikan tanda bahaya, malam harinya ratusan siswa-siswi Kota Bengkulu persembahkan teater dan nyalakan lilin. Bersama koalisi aktivis, organisasi serta lembaga perlindungan perempuan dan anak, memanjatkan doa agar Yuyun mendapat tempat terindah dalam peristirahatannya.

“Negara harus hadir ditengah kondisi darurat kekerasan ini, kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak serta kekerasan-kekerasan lainnya. SOS sebagai tanda bahaya ini memang saat ini sudah kondisi berbahaya, darurat,” kata Susi Handayani, Direktur Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu. Rabu 4 Mei 2016.

Darutat kekerasan yang dimaksud, bukan soal akumulasi jumlah kasus. Menurutnya tak ada toleransi untuk kekerasan seksual, kekerasan pada anak, dan terhadap perempuan, Zero Tolerance tegasnya.

“Sudah banyak kasus sebelumnya dan ini harus kita hentikan. Buat kami, kekerasan itu tak bisa ditoleransi, jangan sampai terjadi,” tutur Susi Handayani. (122)